Dialog antara Jakarta dan Papua hingga kini belum tercapai.
Pemerintah selalu curiga dialog berarti rakyat di sana minta merdeka.
Padahal,
menurut Adriana Elisabeth, peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI) yang juga meneliti tentang Papua menilai kecurigaan
pemerintah salah kaprah. Pekik merdeka bagi orang Papua adalah hal
biasa, tidak perlu ditakutkan.
Dia menambahkan pemberian otonomi
khusus terhadap Papua juga kebijakan keliru buat menyelesaikan konflik
di Papua. Hasilnya, otonomi berjalan tidak sesuai harapan.
Berikut penjelasan Adriana saat ditemui
Islahuddin dari
merdeka.com di kantornya, Gedung Widya Graha LIPI Lantai 11, Kamis (20/12) sore.
Bukankah dialog itu sudah ada pada zaman Presiden B.J. Habibie?Iya
itu ada, tim 100 dari Papua dengan Presiden Habibie pada 1999. Waktu
itu, tim 100 datang ke Jakarta untuk dialog dengan Presiden Habibie,
tapi tiba-tiba salah satu dari tim 100 bilang ingin merdeka. Langsung
Presiden Habibie bilang, "Silakan kembali ke Papua dan pikirkan."
Setelah itu diberikan otonomi khusus. Padahal hal itu sudah biasa di
Papua, selalu begitu. Kalau sekarang bicara begitu, besok akan lain, di
belakang juga bisa lain, itu Papua. Tim LIPI sudah paham akan hal itu.
Misalnya
kalau sekarang bilang merdeka, begitu keluar dari ruang dialog bisa
lain omongannya. Contoh lainnya, kalau ditawarkan sesuatu jawabannya aka
lain juga, "Oh itu bagus. Tapi bagus untuk ibu saja." Itu berarti
mereka menolak. Ada bahasa-bahasa komunikasi harus kita pahami. Jadi
jangan sok tahu tentang Papua. Bukan seperti itu.
Budaya Papua
itu sangat tertutup. Jangan berharap kita akan tahu yang mereka pikirkan
dan penilaiannya seperti apa. Dalam penelitian antropologi, bahkan ada
peneliti mau menjadi istri kepala suku. Menurut saya, itu untuk tahu
seperti apa kebudayaan mereka. Kita yang di luar sebaiknya jangan merasa
tahu dengan Papua. Beri mereka ruang, beri apa maunya. Itu tidak cukup
dipahami oleh pemerintah.
Kalau saya sekarang sudah biasa
diperlakukan seperti itu. Pertama-tama saya kaget, seperti tidak pernah
dipercaya. Teman-teman di sana memang begitu. Saya meneliti Papua sejak
2004. Meski begitu, saya masih menyadari sebagai orang luar. Jadi saya
selalu pesan kepada mereka, "Silakan Anda putuskan, maunya apa, kalau
memang butuh bantuan saya akan bantu." Dengan posisi seperti itu akan
ada sesuatu yang tidak akan diungkapkan. Kalau sudah begitu jangan main
paksa, mereka tidak akan pernah mau memberi tahu hal itu.
Kenapa otonomi khusus dinilai gagal?Sebetulnya
untuk tuduhan otonomi khusus gagal disebut Pendeta Socratez ini kedua
kali. Sebelumnya pada sekitar 2005 kalau tidak salah, masyarakat adat
Papua sudah pernah mengembalikan otonomi khusus ke Dewan Perwakilan
Rakyat. Di Papua Road Map, tim LIPI juga menyebut kegagalan pembangunan.
Kegagalan pembangunan bukan karena otonomi khusus, sebelumnya juga
sudah gagal, karena salah membangunnya. Membangun untuk Papua dan
membangun di Papua itu beda. Membuat pembangunan di Papua terus orang di
Papua disingkirkan berbeda dengan membangun untuk orang Papua, orang
Papua itu keinginannya apa, perlunya apa, apa masalah, dan sebagainya.
Kalau
dibilang gagal, menurut saya bukan hanya otonomi khusus. Sebelumnya
juga gagal, tapi dengan otonomi khusus itu memang tidak menjadi lebih
baik. Saya memberi contoh tentang kesehatan.
Kondisi Papua
tinggi, menanjak, bukit, dan sebagainya. Ada yang tinggal jauh di ujung
perbukitan, dalam hutan, hingga lembah, mendatanginya susah. Dengan
kondisi seperti itu, bagaimana menyediakan fasilitas kesehatan dengan
baik. Mereka tidak ada tandu seperti di sini, tandu untuk membawa orang
sakit itu mereka buat dari kayu dan ranting, kain, dengan peralatan
sederhana. Jalannya juga sulit, untuk menuju Puskesmas atau klinik
jaraknya jauh. Dengan otonomi khusus, tetap saja ada yang tidak
tertolong. Akhirnya, sama saja sebelum ada otonomi khusus.
Kemudian
untuk teknologi kedokteran digunakan juga jauh tertinggal dari daerah
di luar Papua. Jadi bagaimana membayangkan peningkatan kesehatan orang
Papua. Tidak bisa model Papua disamakan dengan daerah lain. Program
pemerintah itu biasanya seragam, meniru program di daerah lain. Papua
itu berbeda, bukannya mau dibedakan. Kondisi alam dan wilayahnya saja
sudah berbeda. Jadi dengan otonomi khusus, bagaimana implementasinya
untuk menjangkau penduduk tersebar itu.
Bayangkan yang tinggal di
Yahukimo, itu sebuah lembah. Kalau mau keluar, jalannya naik turun
perbukitan dan tebing terjal. Bayangkan bagaimana membuat pelayanan
kesehatan untuk kondisi alam seperti itu. Jadi kalau dibilang gagal,
saya juga sudah bilang ke Pak Socratez, kalau dari segi kekerasan saya
setuju, tapi harus jelas parameternya. Gagal itu apa ukurannya? Kalau
kondisi alam seperti itu dibilang gagal, yang gagal itu implementasinya
atau undang-undangnya?
Pemerintah daerah Papua apa sih tugasnya?
Saya contohkan lagi, di Papua masih banyak anak-anak tidak sekolah.
Padahal tempat anak-anak tidak sekolah itu jaraknya tidak jauh dengan
kantor bupati. Jadi apa yang dilakukan? Anak-anak tidak sekolah,
lingkungan kumuh, tidak ada air bersih, sampah berserakan di mana-mana,
apa yang mau kita harapkan? Itu tugasnya pemda untuk menyelesaikan
semua. Pemdanya kemana?
Kalau mau tahu, semua bupati di Papua
sudah dijabat oleh orang Papua sejak otonomi khusus atau Papuanisasi,
tapi mereka melakukan apa? Sebagian bupati, kepala daerah di Papua lebih
banyak menghabiskan waktu di luar Papua. Hanya satu bulan di Papua.
Hanya ada satu bupati selama satu tahun hanya satu bulan keluar Papua
jika diakumulasi. Saya lupa bupati kabupaten mana. Itu kejadian ekstrem.
Memang itu juga terjadi di daerah lain, banyak pejabat sering berada di
luar wilayahnya.
Tapi Papua ini dananya besar, apa dana itu
digunakan untuk keluyuran. Artinya dana besar itu tidak digunakan untuk
membangun sektor penting: kesehatan, pendidikan, ekonomi. Dana besar itu
lebih banyak habis untuk operasional birokrasi, sekitar 70 persen. Jadi
sisa 30 persen itu dibagi untuk membangun sektor penting itu.
Otonomi khusus sudah berjalan 11 tahun, masak, tidak ada evaluasi untuk perbaikan?Sebetulnya
dua tahun lalu ada dua institusi, Universitas Cenderawasih, Papua, dan
Universitas Satya Wacana, Salatiga, Jawa Tengah. Tapi evaluasi itu tidak
untuk dipublikasikan, mungkin karena tidak menyeluruh. Mestinya
evaluasi itu dilakukan komprehensif. Dalam Undang-undang Otonomi Khusus
evaluasinya itu harusnya tiga tahun sekali, tapi tidak pernah dilakukan.
Kementerian
Dalam Negeri, Direktorat Otonomi Daerah menjanjikan 20 Desember 2012
ini akan mengeluarkan evaluasi menyeluruh implementasi Undang-undang
Otonomi Khusus. Kira-kira seperti itu bahasanya. Dulu janjinya awal
tahun 2012, tapi diundur akhir tahun ini, silakan Anda tanyakan dan cek
di Kementerian Dalam Negeri.
Mestinya dalam tiga tahun ada
evaluasi, tapi itu tidak pernah ada. Dari situ saja bisa dilihat,
jangankan bikin evaluasi per tiga tahun, sekarang saja belum ada. Mau
tahu apa tentang implementasi otonomi khusus di Papua? Makanya saya
bilang, kalau dari segi catatan kekerasan, semua sudah tahu. Buku Pak
Socratez itu juga melengkapi catatan kekerasan terjadi di Papua. LIPI
juga punya catatan kekerasan di Papua, tapi belum dipublikasi, baru
selesai 70 persen. LIPI sudah siapkan draf buku putih catatan kekerasan
di Papua.
Itu baru catatan kekerasan. Otonomi khusus itu meliputi
semua aspek. Hak asasi manusia itu tidak hanya politik dan keamanan,
tapi juga ekonomi, sosial, dan budaya mereka yang dilanggar hak-haknya.
Jadi kalau otonomi khusus dibilang seperti itu, kita lihat saja SDM
Papua sampai seperti saat ini, karena tidak sekolah, itu juga
pelanggaran hak asasi manusia atas orang-orang Papua. Anggarannya sudah
ada, kenapa setelah ada otonomi khusus sumber daya manusianya semakin
menurun.
Kalau dicek, beberapa keberhasilan juga ada di bidang
lain. Ada yang pernah bilang rumah sakit di Abepura katanya pelayanannya
lebih baik dari sebelum otonomi khusus. Kisah sukses bagian-bagian
kecil itu ada. Tapi Papua ini sudah diberikan otonomi luas juga dengan
dana besar, masak keberhasilannya hanya di rumah sakit itu saja.
Harusnya capaian juga spektakuler, jangan hanya yang kecil-kecil seperti
itu.
[fas]
source:merdeka.com