Kamis, 21 Maret 2013

Kehidupan Di Kampung Mosso Belum Kembali Semula

Anak-anak bermain di halaman sekolah dasar di Kampung Mosso, perbatasan Provinsi Papua- Papua Nugini



Pada 1969, Kampung Mosso dimusnahkan militer. Sampai hari ini masyarakatnya masih menderita.

Alam menentukan nasibnya sendiri pagi itu, Sabtu (23/2) pagi. Langit sudah berselaput awan hitam sejak pagi hari, tapi tak kunjung turun hujan. Hawa sejuk mengiringi mobil APV sewaan yang membawaku bersama lima warga Papua menuju perbatasan Republik Indonesia (RI)-Papua Nugini (PNG).

Butuh kurang lebih tiga jam untuk melewati kampung-kampung kecil dengan pemandangan gunung dan bukit di sepanjang jalan. Aku memilih memasuki kampung terakhir di perbatasan, yaitu Kampung Mosso. Sebelum memasuki Mosso, sudut pandang tertambat pada pos Kostrad TNI yang dari jauh sudah terlihat berkelebat bendera Merah Putih dengan tulisan besar NKRI di sisi kanan dan kiri.

Saat melewati pos TNI itu, kaca mobil harus dibuka dan aku menyapa petugas dengan klakson mobil. Tentu mereka lantas membalas dengan senyuman sambil mengangkat sebelah tangan ke atas.

Beberapa saat kemudian, sesampainya di jembatan kayu yang belum permanen padahal sungai di bawahnya dihuni buaya-buaya liar, mau tak mau aku harus melintasinya dengan berjalan kaki. Jembatan yang hanya sanggup menahan beban berat manusia itu ternyata sudah diperbaiki tujuh kali oleh masyarakat.

Mosso adalah sebuah kampung kecil dengan hutan alami berupa pohon-pohon besar, sungai, telaga, serta kekayaan flora dan fauna. Kampung tersebut berada di Distrik Muara Tami, Kota Jayapura. Jumlah penduduknya ada sekitar 50 keluarga, di mana kurang lebih 30 keluarga di antaranya adalah mantan pelintas batas.

Pada 1969, kampung itu dimusnahkan lewat Operasi Tumpas yang dilakukan oleh prajurit TNI dengan cara membakar rumah-rumah masyarakat. Operasi Tumpas ditujukan terhadap mereka yang terlibat Organisasi Papua Merdeka (OPM). Masyarakat kemudian meninggalkan kampung halamannya dengan mengungsi ke Kampung Nyao dan Kofo, PNG.

Pada 1999, ketika suasana mulai kondusif, masyarakat mulai kembali ke kampung halaman Mosso. Pada Mei 2007, Pemerintah Kota Jayapura menetapkan Mosso sebagai kampung terakhir di daerah perbatasan RI-PNG.

Ketika menelusuri Kampung Mosso dengan berjalan kaki sejauh 2 kilometer, ada seorang guru muda yang memanduku. Namanya Habel Tandilian, peranakan Toraja dan Kei (Ambon). Suasana kampung hening dan suram, tak ada keceriaan anak-anak karena mereka bermain di rumah masing-masing yang jarak antar-rumah sekitar 50 meter dengan dikelilingi tumbuhan lebat.

Gedung-gedung yang terlihat masih baru memang ada, tapi tak tampak ada petugas di dalamnya. Misalnya gedung untuk kesehatan, petugas kesehatan hanya datang sesekali kemudian “lenyap” hingga tiga bulan lamanya. “Di sini kantor hanya dibangun, tidak difungsikan,” kata Habel. Keadaan itu memaksa masyarakat Mosso berobat ke PNG. Meskipun itu artinya biaya kesehatan di PNG harus lebih mahal karena menggunakan mata uang kina yang nilai kursnya lebih tinggi dibandingkan dengan rupiah.

Ketiadaan aliran listrik dan sulitnya akses air juga menambah suasana kampung telantar bagaikan kota mati. Untuk memperoleh kebutuhan utama berupa air, warga menggali tanah tetapi warna airnya cokelat, hampir sama dengan warna sungai.

Sekolah dan “Ngojek”

Ketika panas menyengat, seolah matahari tinggal sejengkal di atas kepala, aku kebingungan mencari-cari pohon kelapa untuk memetik buahnya. Tapi tak ada. “Tidak ada kios di sini, butuh waktu 15 menit dengan ojek turun ke kampung sana untuk membeli kebutuhan hidup,” sambung Habel.

Kios yang ada pun hanya menjual bensin dan garam. Sementara itu pasar di perbatasan RI-PNG dibuka setiap Selasa, Kamis, dan Sabtu, ditutup pada pukul 15.00 sore.

Habel yang guru SD itu pun lantas menceritakan bahwa penghasilan masyarakat di Mosso minim. “Saya suka bingung anak-anak dapat uang dari mana? Ternyata terkadang anak-anak narik ojek sepeda motor ke PNG supaya dapat uang,” ungkap Habel. Biasanya anak-anak mengantar penduduk dari pintu perbatasan sampai pasar dengan upah 2 kina atau setara Rp 6.000. Jika muatan ditambah barang maka ongkosnya akan ditambah satu penumpang lagi. Setiap pengojek bisa mendapat uang antara 150-200 kina per hari.

Di daerah perbatasan itu hanya ada tujuh guru. Sementara di Kampung Mosso tidak ada guru yang menetap. Bahkan, guru lebih sering tidak datang sehingga anak-anak yang sudah berangkat menuju sekolah dengan menempuh jarak kurang lebih 2-3 kilometer terpaksa gigit jari kembali ke rumah tanpa membawa ilmu.

Billiam Poa, salah seorang anak Mosso dan murid terbaik Habel, mengaku kerap menumpang tinggal di gereja supaya lebih dekat dengan sekolahnya. Namun persoalan tetap mengadangnya, yaitu saat ini terhambat untuk mengikuti Ujian Nasional (UN) tingkat SMA karena peraturan baru Dinas Pendidikan dan Kebudayaan tahun ini menyangkut usia peserta UN. Billiam sudah melebih usia yang ditetapkan, karena saat ini umurnya sudah 23 tahun.

“Awalnya pemerintah menyarankan siapa saja yang mau bersekolah akan disekolahkan. Lalu Billiam masuk SMP saat itu,” ungkap Habel. Namun ternyata peraturan baru Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dibuat tanpa melihat kondisi yang dihadapi anak-anak di daerah pedalaman. Akibatnya, peraturan pemerintah itu justru menghentikan langkah Billiam untuk melanjutkan sekolahnya demi meraih cita-citanya.

Habel melanjutkan, dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) selalu ada, tapi tergantung pada kepala sekolah. “Dana BOS membantu jika sekolahnya besar. Jadi jika sekolahnya macam di sini yang muridnya hanya enam orang dan setiap anak mendapat bantuan Rp 45.000, jadi berapa yang kita dapat? Paling-paling hanya Rp 200.000-300.000. jumlah dana itu tidak bisa digunakan karena semua kebutuhan di sini mahal,” ia menambahkan.

Untuk mengatasi minimnya bantuan pemerintah untuk pendidikan, biasanya orang tua murid dan guru ikut berpartisipasi membeli kertas dan spidol. Namun pada 2010 sekolah sempat tidak menyelenggarakan ujian sekolah lantaran tidak punya dana untuk memperbanyak lembaran soal ujian. Barulah ketika tokoh adat dan masyarakat protes, pemerintah lebih memperhatikan masalah tersebut.

“Waktu Mama Kambu, istri wali kota menjabat sebagai kepala Dinas Pendidikan, semua fasilitas lengkap. Namun sejak beliau turun jabatan, semua jadi berantakan, dana-dana lebih untuk sekolah sudah tidak ada lagi,” ujarnya.

Habel punya murid yang terpaksa berhenti sekolah karena harus mengojek setiap hari. Malah, ada juga yang pergi ke sekolah tanpa makan. Maka Habel yang selain menjadi guru juga membuka kantin di sekolah itu, tidak jarang merelakan dagangannya untuk anak-anak tanpa keharusan membayar. “Terkadang mereka mengeluh pada saya, ‘Aduuuh... bapak guru, saya lapar’. Saya pun mempersilakan mereka makan di kantin saya. Habis gimana lagi?” sambung Habel.

Malah, secara umum masyarakat setempat hanya makan satu kali dalam sehari. Penduduk tidak punya pekerjaan karena berpikir bahwa alam yang menghidupkan mereka. Kegiatan mereka sehari-hari hanya berkebun lalu membakar pisang untuk dimakan, kemudian pulang ke rumah untuk tidur. Keesokan harinya mereka akan melakukan aktivitas yang sama karena mereka tidak menjual tanaman produktif.

Itulah cerita lara tentang Mosso. Meski alamnya menyimpan pesona yang mengagumkan, kenangan kelam tentang Mosso di masa lalu tak kan hilang begitu saja. Suka tidak suka, seluruh rakyatnya harus kembali bangkit membangun kehidupan yang dulu pernah dihancurkan oleh militer.

@ SHNEWS.CO

Tidak ada komentar:

Posting Komentar