Jumat, 28 September 2012

DPR Usul Papua Selatan Jadi Provinsi

PEMEKARAN DAERAH

DPR Usul Papua Selatan Jadi Provinsi

Kamis, 27 September 2012

JAKARTA : DPR RI mengingatkan kepada Pemerintah untuk membuat skala prioritas terkait usulan daerah otonomi baru (DOB) yang masuk. Salah satu prioritas yang mesti diperhatikan Pemerintah terkait usulan DOB itu adalah daerah perbatasan, atau terluar dari Indonesia. DPR pun mengusulkan, agar pemekeran Papua Selatan dipertimbangkan Pemerintah sebagai DOB baru.

"Pemerintah mestinya membuat skala prioritas untuk pemekeran daerah khususnya bagi daerah-daerah perbatasan. Dan, Papua Selatan termasuk daerah yang menjadi prioritas dan sudah memenuhi syarat untuk menjadi provinsi ketiga di wilayah Timur Indonesia ini setelah Papua dan Papua Barat," ujar Wakil Ketua Komisi II DPR Ganjar Pranowo bersama pengusul Provinsi Papua Selatan Johanes Gluba Gebze di ruang wartawan, Gedung DPR/MPR/ DPD, Jakarta, Rabu (26/9).

Menurut Ganjar, sampai tahun 2012 DPR menerima 24 usulan DOB untuk dimekarkan. Salah satu dari 24 calon DOB baru adalah Papua Selatan, (Papua Barat Daya, dulu). Namun, setelah dievaluasi Pemerintah dari 24 daerah hanya menjadi 19 daerah yang masih memungkinkan untuk dimekarkan.

"Hanya saja ada isu moratorium pada 2009, sehingga pemekaran daerah tersebut dihentikan. Padahal, tidak ada yang namanya moratorium tersebut," jelas dia. Penolakan moratorium oleh DPR karena alasan disampaikan pemerintah ke DPR tidak berdasar. Dikatakan, Pemerintah tidak bisa menjawab kenapa hingga 2011 sebanyak 80 persen pemekaran daerah dianggap gagal.

Adapun John, sapaan akrab dari Johanes, menyatakan, usulan Provinsi Papua Selatan meliputi lima kabupaten, yaitu Merauke, Muyu dengan ibu kota Mudiptana, Boven dengan ibu kota Digul, Mappi dengan ibu kota Kepi, dan Asmat dengan ibu kota Agats.

"Jadi, secara sosial ekonomi, politik, pendidikan, ketahanan pangan, perdagangan, pertahanan keamanan, transportasi, dan administrasi kewilayahan sudah memenuhi syarat. Apalagi, dalam sejarah NKRI, sebelum integrasi dengan Indonesia, Digul ini sudah menjadi tempatnya para tokoh dan proklamator bangsa, yang dibuang oleh Belanda," ujar Jhon.

Koordinator Ikatan Kekerabatan Masyarakat Papua Selatan ini juga menilai pemekaran ini sebagai langkah untuk kemajuan dan perubahan pembangunan Papua Selatan yang lebih baik. Bahkan, kata dia, saat ini banyak desa-desa di Papua Neugini (PNG) yang masuk ke wilayah Papua Selatan.

"Usul provinsi ini sejalan dengan kebijakan pemerintah pusat yang tercantum secara khusus dalam design besar penataan daerah yang harus dibentuk dalam selang periode 2010-2015," ungkap dia. (Rully)

sumber :http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=312160

15.000-an Marinir akan Ditempatkan di Sorong

15.000-an Marinir akan Ditempatkan di Sorong

Kamis, 27 September 2012

SORONG – Dalam pengembangan korps Marinir TNI-AL, di Sorong nantinya akan menjadi Divisi III Marinir yang diperkuat sekitar 15-an ribu personil untuk mendukung keamanan dan pertahanan di komando wilayah laut timur yang direncanakan berada di Sorong. Divisi III Marinir nantinya dipimpin panglima berpangkat bintang dua yang disebut Pangkowilatim. Demikian dikatakan Danlanal Sorong, Kolonel Laut (P) Irvansyah kepada wartawan usai meletakkan batu pertama pembangunan markas komando (Mako) Divisi III Mariniri di Km 16 Sorong, kemarin (26/9).
Selain pembangunan markas komando, di kompleks Km 16 ini lanjut Danlanal, juga akan dibangun barak-barak mariner, perumahan untuk anggota dan fasilitas penunjang lainnya. Pembangunan Mako Divisi III Marinir ini diestimasikan rampung tahun 2013 mendatang, dan secara bertahap akan mulai dilakuakn pergeseran pasukan hingga nantinya mencapai 15 ribuan personil. “Saat pembangunan selesai sesuai jadwal tahun 2013 nanti, secara bertahap akan ada pergesaran pasukan. Tahap awal mungkin satu bataliyon dulu atau sekitar 1000-an personil,” terang Danlanal sembari mengatakan, saat ini personil Marinir yang ditempatkan di Sorong sekitar 60-an personil yang bertugas untuk pengamanan asset.
Ditanyai mengenai pembinaan personil untuk menghindari gesekan antar sesama aparat seperti yang terjadi baru-baru ini di salah satu tempat hiburan malam, Danlanal menegaskan jika pembinaan personil menjadi perhatian utama pihaknya di Lanal Sorong, dengan terus menerus melakukan pembinaan terhadap anggotanya, baik itu dari Satuan Tugas (Satgas) Mariniri yang saat ini masih dibawah komando Lanal Sorong, maupun terhadap anggota TNI-AL lainnya yang bertugas di Lanal Sorong. ”Untuk pembinaan, saat ini kan Satgas pengamanan aset di-BKO-kan di Lanal Sorong, kita lakukan pembinaan sama seperti anggota lainnya, baik itu mengenai penekanan kedisiplinan, penindakan pelanggaran, termasuk kesejahteraan juga kita perhatikan,” tandasnya.
Acara peletakan batu pertama pembangunan gedung Mako Divisi III Marinir ini dilakukan oleh Wali Kota Sorong, Drs.Ec Lamberthus Jitmau, disaksikan tamu undangan yang kemudian dilanjutkan pemotongan tumpeng oleh Danlanal Sorong. (ans)

sumber: http://www.radarsorong.com/index.php?mib=berita.detail&id=2082

Belajar dari Aceh, Reduksi Konflik Papua Dengan Dialog


Belajar dari Aceh, Reduksi Konflik Papua Dengan Dialog

Kamis, 27 September 2012

JAYAPURA - Merespon niat pemerintah pusat untuk menggelar dialog Jakarta-Papua untuk menyelesaikan akar persoalan yang selama ini terjadi di Papua, Komnas HAM menggelar pertemuan yang melibatkan sejumlah stake holder di Swisbell Hotel Jayapura.

Dalam pertemuan tersebut terlihat perwakilan dari TNI, Polri, Pemerintah (eksekutif), LSM, Mahasiswa dan para tokoh masyarakat. Pertemuan ini sengaja digelar untuk mengumpulkan pandangan konstruktif dari berbagai kalangan untuk mendorong terlaksananya dialog. Dialog Jakarta-Papua dianggap penting jika melihat persoalan yang selama ini terjadi.

Banyak kasus yang tidak saja menimbulkan kerugian tetapi juga korban nyawa, termasuk konflik horizontal dinilai urgent  untuk diselesaikan. Dialog menjadi satu langkah untuk mereduksi konflik.

Ketua Komnas HAM Pusat  Ifdhal Kasim mengatakan, proses dialog Jakarta-Papua yang sempat mencuat beberapa waktu lalu perlu segera disikapi.

Apa yang dilakukan pihaknya hanya untuk mencari informasi formulasi apa yang paling tepat untuk nantinya menjadi satu masukan bagi pemerintah pusat yang selanjutnya mengambil langkah-langkah.

Ifdhal setuju konsep dialog tersebut nantinya tak sama seperti yang sudah-sudah. Menurutnya dialog harus melibatkan para pihak yang selama ini "ribut". Tak bisa hanya membawa perwakilan dari kelompok tertentu kemudian dianggap telah menggelar dialog.  "Semua pihak dilibatkan lebih baik," katanya.

Sekalipun dalam dialog itu nantinya dalam menelorkan kesepakatan harus ada yang dikorbankan, namun jika hal tersebut untuk kebaikan bersama maka masing-masing pihak haruslah legowo.

"Dalam memutuskan dua pemahaman memang harus ada yang dikorbankan, tak biasa pemerintah hanya memenangkan pendapat. Begitu pula dengan kelompok yang berseberangan harus dituruti tetapi bagaimana ada solusi jalan tengah yang nantinya disepakati untuk menciptakan kondisi yang lebih baik," paparnya.

Selama ini masyarakat melakukan berbagai aksi lantaran ada kebijakan yang tak sepenuhnya berpihak pada rakyat. Indikatornya jelas, banyak anggaran yang dikucurkan dalam kerangkan Otonomi Khusus namun ternyata jumlah penduduk miskin masih saja bertambah. Pemenuhan kebutuhan pendidikan, kesehatan dan perumahan juga belum terjawab, sehingga untuk mengekspresikan kekecewaan inilah muncul berbagai aksi protes.

Ditanya apakah dengan dipenuhinya keinginan para pihak yang kerap menyuarakan protes kepada pemerintah ini akan memberi jaminan bahwa tak ada lagi kelompok-kelompok yang berseberangan? Ifdhal mengaku hal tersebut memang tak memberi jaminan, namun yang terpenting adalah pemerintah mau membuka diri dan merespon apa yang selama ini menjadi akar persoalan, sehingga dari sikap ini public juga akan menilai bahwa pemerintah tak menghindar dan memiliki itikad baik untuk menyelesaikan persoalan Papua. 

Ifdhal menangkap selama belum digelar dialog maka peluang terjadinya pelanggaran HAM semakin terbuka. Korelasinya adalah dari bentuk protes tersebut tak jarang berujung benturan di lapangan. Ketidakpuasan ini jika terus berkembang maka aparat sewaktu-waktu bisa mengambil sikap tegas yang rentan dengan pencederaan masyarakat sipil. "Jelas kondisi ini semakin memungkinkan untuk timbulkan pelanggaran HAM," akunya.

Dari pertemuan tersebut, isu Papua akan menjadi  penting ketika mendapat sorota dunia. Mengenai Pepera one man one vote juga sempat terlontar.

Menurut Yorgen Numberi salah satu staf dari Komnas HAM Papua, Pepera bagai tanah yang lembek karena terpaan air, namun tanah tersebut akhirnya mengeras dan membeku sehingga dirasa penting untuk kembali dicairkan.

Dalam pertemuan tersebut ia mengungkapkan bahwa di Papua kini muncul istilah "Patipa" atau Papua tipu Papua. Bentuk dialog yang selama ini didorong diakui tak cuma sekali dilakukan pemerintah pusat.

Menkopolhukam pernah menggelar dialog, Mendagri juga pernah begitu, juga dengan beberapa kementerian lainnya yang tujuannya sama yakni menyelesaikan masalah Papua. Namun yang dikritisi di sini adalah hanya pihak atau perwakilan tertentu yang hadir dalam dialog tersebut sehingga hasilnya sudah bisa ditebak.

Kerangkan dialog dianggap penting memenuhi beberapa unsur seperti lingkup dan cakupan, tujuan dialog, prinsip dialog dan partisipan. "Ini yang saya sebut tadi, muncul kelompok-kelompok baru yang dikatakan sudah mengikuti dialog tapi apa hasilnya? Akhirnya lahirlah sebutan Papua tipu Papua tadi," beber Yorgen.

Ia menilai jika hak ekonomi sosial budaya (ekosob) sudah dipenuhi maka ada keyakinan bahwa tindakan pelanggaran bisa dieliminir. Pasalnya dengan perasaan tak adanya keberpihakan inilah muncul berbagai front untuk bersuara. Dan keterlibatan pemuda di balik front tersebut kian subur.  "Kalau dilaksanakan maka kelompok terpinggirkan ini harus ikut diundang, jangan yang hanya di kota saja," sarannya.

Plt. Kepala Sekretariat Komnas HAM Perwakilan Papua, Frits Ramandey menceritakan bahwa persoalan Papua sejatinya tak jauh dengan Aceh kala itu. Malah Aceh berangkat dari persoalan yang terjadi di Papua, tapi kenyataannya sekarang Papua belajar dari Aceh. Yang membedakan proses penyelesaian persoalan antar Papua dan Aceh adalah pada pihak ketiga.

Penyelesaian persoalan di Aceh ada wasit yang netral sedangkan Papua tidak. Namun alternatif lain yang bisa digunakan adalah menggunakan wasit lokal yang memiliki otoritas. Dari penyampaiannya sempat terlontas beberapa nama seperti Willy Mandowen, Thaha Al Hamid, Pastor Neles Tebay dan Herman Awom yang selama ini sudah menggagas dan mengedepankan proses dialog.

Frits juga menyebut bahwa TNI bisa ikut berkaca dengan melakukan hal serupa bercermin pada sosok Pangdam Lumintang termasuk Polda pada Kapolda, Made Mangkupastika. Sedangkan Pemda belajar pada sosok Fredy Numberi.

Sepengetahuannya, dulu Jaringan Damai Papua (JDP) yang dipimpin Pastor Neles Tebay telah mendorong proses ini dengan baik. Hanya sayangnya istana mengooptasi perkelompok. Kelompok agama 1 dan kelompok agama 2 sehingga muncul kecurigaan pada kelompok agama di tingkat lokal. Baginya pelajaran dari Aceh bisa dicopy untuk penyelesaian Papua. "Di sana ada partai lokal dan pihak ketiga yang mengawasi tapi untuk Papua saya pikir kita butuh mediator yang cakap dan berkompetensi serta memiliki otorita," sarannya.

Ia mempertegas bahwa para pihak yan dilibatkan dalam dialog juga harus jelas agar tak ada pengulangan. Istana perlu mengundang pihak Pemerintah Papua, gereja, TNI-Polri, para tokoh termasuk Presidium Dewan Papua yang nantinya mewakili pihak OPM atau OPM sendiri. "Tapi kata kuncinya   saat ini ada di TNI-Polri. Jika mereka bersedia maka dialog bisa digelar, sebab negara tentu tak boleh kalah, negara tak boleh salah dan negara harus kuat," sindirnya.

Ia berharap dari yang dilakukan Komnas HAM ini bisa menjadi satu pijakan untuk mendorong terlaksananya proses dialog. "Saya pikir ini harapan semua pihak untuk Papua lebih baik ke depan," pungkas Frits. (ade/fud)


sumber :http://www.jpnn.com/read/2012/09/27/141155/Belajar-dari-Aceh,-Reduksi-Konflik-Papua-Dengan-Dialog-#

NZ Super Fund pulls out of Freeport-McMoRan mine

NZ Super Fund pulls out of Freeport-McMoRan mine


Updated 27 September 2012

The New Zealand Superannuation Fund says it will no longer invest in the Freeport-McMoRan mine in Indonesia's Papua province because of breaches to human rights standards.


The fund, which invests money on behalf of the New Zealand Government, said Freeport-McMoRan was one of four companies excluded from its $NZ19 billion investment portfolio following a recent review.

"Freeport-McMoRan has been excluded based on breaches of human rights standards by security forces around the Grasberg mine, and concerns over requirements for direct payments to government security forces by the company in at least two countries in which it operates," the company said in a statement.

"Despite improvements in Freeport-McMoRan's own human rights policies, breaches of standards by government security forces are beyond the company�s control. This limits the effectiveness of further engagement with the company."

The Indonesian Humanitarian Rights Committee of New Zealand welcomed the decision.

"It's been responsible for environmental devastation and for human rights abuses on a major scale for much longer than the six years that we've been campaigning about the issue of the super fund investment," spokeswoman Maire Leadbeater told Radio Australia's Pacific Beat program.

"We have felt that it is a significant connection that our country has with human rights abuses in West Papua and we hoped that if we could sever that connection then we would have done something as a country to help the West Papuan people."

The New Zealand Superannuation Fund has also excluded KBR (formerly Kellogg Brown & Root), Tokyo Electric Power Company (TEPCO) and Zijin Mining Group because of breaches to "global standards of good corporate behaviour".


sumber :http://www.radioaustralia.net.au/international/2012-09-27/nz-super-fund-pulls-out-of-freeportmcmoran-mine/1021794