 |
Add caption |
Jayapura - Sedikitnya 10 bahasa ibu di Papua terancam punah akibat makin sedikitnya masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut.
Demikian antara lain disampaikan Gubernur Papua, Lukas Enembe, dalam
sambutan tertulisnya yang dibacakan Asisten III Sekda Papua, Rosdiana
Upessy pada pembukaan lokakarya laporan akhir fase studi perencanaan
strategis pendidikan dasar di pedesaan dan daerah terpencil di Tanah
Papua di Jayapura, Rabu (1/10).
Dikatakan, dari hasil pemetaan yang dilakukan Summer Institute of Linguistic (SIL)
International dan Yayasan Abdi Nusantara Papua terungkap di Tanah Papua terdapat 275 bahasa.
Bahasa itu, kata Gubernur Enembe, harus dilestarikan karena jika tidak maka dapat terancam punah.
"Bahkan dari hasil studi yang dilakukan
Education Sector Analytical and Capacity Development Patnership
(ACDP) terungkap anak-anak di Papua khususnya anak-anak di kelas awal
(1,2, dan 3) lebih senang bila guru mengajar dengan menggunakan bahasa
ibu karena lebih mudah dimengerti," katanya.
Gubernur Papua pada kesempatan itu juga mengakui, di Papua khususnya
hingga kini masih mengalami kekurangan tenaga guru terutama guru di
Sekolah Dasar (SD), sementara di satu sisi guru lebih banyak menumpuk di
kota.
Padahal tanpa kehadiran guru di kelas, anak-anak tidak akan dapat
membaca, menulis, dan berhitung dengan terampil sehingga pengiriman guru
ke pedalaman tidak bisa ditunda lagi.
"Dinas Pendidikan dan Kebudayaan harus memberikan perhatian khusus
tentang kenaikan pangkat para guru dan perlunya dilakukan sistem
mutasi-rotasi guru secara berkala, termasuk mutu layanan gaji dan
tunjangan lainnya serta pemenuhan sembilan bahan pokok," kata Lukas
Enembe.
Ia juga menambahkan dari data Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
terungkap dari 11.461 orang guru, baru 1.224 orang yang berkualifikasi
sarjana (S1).
Lokakarya yang berlangsung sehari itu menghadirkan guru dan peneliti
dari negara donor seperti Martijn van Driel berkebangsaan Belanda yang
mengajar SD di Wamena.