Jumat, 29 Maret 2013

A high school student stabbed Knives By The Specific.

Piet Yogi, stabbing victims by unknown

Nabire-YL: High School hold a Kids First Meeting of activities including actors are victims of Committee activities so they held a meeting In the evening at around 7:00 to finish the evening, tggl, 27/03/13 They broke up and the victim perpetrator is he starting to run legs around Kalibobo Nabire the conclusion goal home at 11:00 after attending events at last meeting of the follow one man behind him so he told him last Congratulations Congratulations were given to make her emotions, then he started Stabbing using scythe against child hunger is the top high school Name Pit Yogi.

After He was in the stabbing, he began to flee home in conditions that force because the situation is severe then straps her stomach came out and all body parts sliced ​​or cut the line finally got home. Then after a few minutes of his family took him to the hospital Regional General (Hospital) Nabire, and he was appointed to the two-wheeled Motorcycles in condition while he Pingsang / does not know himself, and they enter the perpetrators victims in ER in the middle of night 12.00 but Medical personnel in hospital so let him. Do not care, not in the former sewing tikamanya up at noon the next day at 12.00 then act merontak victim offender families against the medical so start sewn, then the victim while the offender is in a severe condition in hospital General (Hospital) Nabire.

According to the victim after he realized actors, find the perpetrators killer in hospitals each escorted by the Police in Nabire on the eve of the families of victims are afraid to rebuke the offender mendugakan They murderer so that the stabbing which occurred disetin from certain parties that the Joint Police and the become leaders assassination is Nabire police themselves.


@
papuanusgobay.blogspot.com

Kamis, 21 Maret 2013

MSG membutuhkan peta jalan baru untuk 25 tahun ke depan


Cover of March 2013 edition of IBI
YK_The Spearhead Melanesia Group (MSG) membutuhkan 'peta jalan' untuk memandu pekerjaan untuk 25 tahun ke depan dan seterusnya.

"MSG masih muda dan berkembang, dengan berlimpah kesempatan, dengan target baru untuk bertujuan untuk dan prestasi baru yang diharapkan, kata Kaliopate Tavola, salah satu Eminent Person yang direkrut oleh kelompok sub-regional untuk memetakan cara baru ke depan untuk MSG.

Tavola adalah di antara kelompok yang dipilih dari para ahli dari Melanesia diundang untuk berbagi pandangan mereka tentang masa depan dari Grup ujung tombak Melanesia.

Dia mengatakan MSG harus 'membuka diri untuk peluang baru' karena bergulat dengan meningkatnya tantangan globalisasi dan perubahan geopolitik di wilayah tersebut.

"Salah satu tantangan adalah label 'arc ketidakstabilan' yang harus berbalik sebagai sarana untuk bercita-cita, pinjaman dari apa Sir Michael Somare disebut sebagai 'busur kemakmuran."Untuk muda Kanak dan Radio wartawan Djiido, Magalie Tingal, MSG adalah 'busur mereka kesempatan. Dia mengungkapkan keinginan rakyatnya untuk diintegrasikan ke Pasifik dan dengan MSG.

"MSG adalah masa depan kita. Budaya dan identitas kita adalah dengan Melanesia bukan di Eropa, kata Tingal.

Tavola, yang akan segera memimpin Grup Eminent Person untuk meninjau MSG, menggemakan pengamatan yang dibuat oleh Kepala Ulasan Grand PNG bahwa jika MSG adalah untuk tetap relevan, harus terus mendorong kemerdekaan akhirnya untuk Kanaks Kaledonia Baru dan mirip perjuangan rakyat Papua Barat di Indonesia.

Dia setuju dengan saran bahwa MSG membuka keanggotaannya, seperti yang disarankan oleh Sir Michael Somare.

"MSG harus membuka diri terhadap isu-isu baru, memperluas Terms of Reference nya. Ini harus memiliki beberapa derajat tanggap terhadap kepentingan diungkapkan dari orang-orang di luar organisasi.

"MSG adalah kelompok sub-regional hanya kuat, baik maju dan unik. Wilayah ini hanya bisa menjadi kuat jika kita memiliki yang kuat sub-regional kelompok seperti MSG. Daerah lain telah membentuk kelompok mereka seperti Kelompok Pemimpin Polinesia, Pulau Kecil Amerika dan Mikronesia.

MSG Direktur Jenderal, Peter Forau meyakinkan kelompok adalah 'bahu untuk bersandar pada' untuk masalah yang menyangkut keanggotaan. Dia menanggapi pertanyaan tentang mendorong kemerdekaan bagi orang asli New Caledonia.

"Kami adalah suara regional dan internasional bagi mereka yang tidak dapat berbicara untuk diri mereka sendiri 'kata Forau, meyakinkan bahwa pelanggaran HAM dan mendorong kemerdekaan bagi rakyat Papua Barat tidak dilupakan oleh MSG.

"Untuk Papua Barat, masalah adalah hak sensitif sedikit sekarang. Tapi kami terus berbicara menentang situasi di sana. Baru-baru ini, Perdana Menteri Papua Nugini berbicara menentang pelanggaran di Papua Barat.

"Kami memiliki beberapa kesulitan dengan Papua Barat karena masalah mereka adalah untuk kembali mendaftar dalam Daftar PBB negara decolonised. Namun, sebagai awal kami telah menerima aplikasi dari salah satu kelompok mereka untuk bergabung dengan MSG. Hal ini mengikuti proses normal persetujuan sebelum Pemimpin akan memutuskan pada bulan Juni, kata Forau.

Diskusi panel di Universitas South Pacific pada topik 'Apa MSG berarti Anda' diselenggarakan oleh Pacific International Relations Forum (PIRF). PIRF adalah sebuah inisiatif oleh mahasiswa Diplomasi dan Hubungan Internasional Program Master untuk menciptakan diskusi publik mengenai isu-isu regional dan internasional yang relevan untuk wilayah Pasifik.

@ islandsbusiness.

Kehidupan Di Kampung Mosso Belum Kembali Semula

Anak-anak bermain di halaman sekolah dasar di Kampung Mosso, perbatasan Provinsi Papua- Papua Nugini



Pada 1969, Kampung Mosso dimusnahkan militer. Sampai hari ini masyarakatnya masih menderita.

Alam menentukan nasibnya sendiri pagi itu, Sabtu (23/2) pagi. Langit sudah berselaput awan hitam sejak pagi hari, tapi tak kunjung turun hujan. Hawa sejuk mengiringi mobil APV sewaan yang membawaku bersama lima warga Papua menuju perbatasan Republik Indonesia (RI)-Papua Nugini (PNG).

Butuh kurang lebih tiga jam untuk melewati kampung-kampung kecil dengan pemandangan gunung dan bukit di sepanjang jalan. Aku memilih memasuki kampung terakhir di perbatasan, yaitu Kampung Mosso. Sebelum memasuki Mosso, sudut pandang tertambat pada pos Kostrad TNI yang dari jauh sudah terlihat berkelebat bendera Merah Putih dengan tulisan besar NKRI di sisi kanan dan kiri.

Saat melewati pos TNI itu, kaca mobil harus dibuka dan aku menyapa petugas dengan klakson mobil. Tentu mereka lantas membalas dengan senyuman sambil mengangkat sebelah tangan ke atas.

Beberapa saat kemudian, sesampainya di jembatan kayu yang belum permanen padahal sungai di bawahnya dihuni buaya-buaya liar, mau tak mau aku harus melintasinya dengan berjalan kaki. Jembatan yang hanya sanggup menahan beban berat manusia itu ternyata sudah diperbaiki tujuh kali oleh masyarakat.

Mosso adalah sebuah kampung kecil dengan hutan alami berupa pohon-pohon besar, sungai, telaga, serta kekayaan flora dan fauna. Kampung tersebut berada di Distrik Muara Tami, Kota Jayapura. Jumlah penduduknya ada sekitar 50 keluarga, di mana kurang lebih 30 keluarga di antaranya adalah mantan pelintas batas.

Pada 1969, kampung itu dimusnahkan lewat Operasi Tumpas yang dilakukan oleh prajurit TNI dengan cara membakar rumah-rumah masyarakat. Operasi Tumpas ditujukan terhadap mereka yang terlibat Organisasi Papua Merdeka (OPM). Masyarakat kemudian meninggalkan kampung halamannya dengan mengungsi ke Kampung Nyao dan Kofo, PNG.

Pada 1999, ketika suasana mulai kondusif, masyarakat mulai kembali ke kampung halaman Mosso. Pada Mei 2007, Pemerintah Kota Jayapura menetapkan Mosso sebagai kampung terakhir di daerah perbatasan RI-PNG.

Ketika menelusuri Kampung Mosso dengan berjalan kaki sejauh 2 kilometer, ada seorang guru muda yang memanduku. Namanya Habel Tandilian, peranakan Toraja dan Kei (Ambon). Suasana kampung hening dan suram, tak ada keceriaan anak-anak karena mereka bermain di rumah masing-masing yang jarak antar-rumah sekitar 50 meter dengan dikelilingi tumbuhan lebat.

Gedung-gedung yang terlihat masih baru memang ada, tapi tak tampak ada petugas di dalamnya. Misalnya gedung untuk kesehatan, petugas kesehatan hanya datang sesekali kemudian “lenyap” hingga tiga bulan lamanya. “Di sini kantor hanya dibangun, tidak difungsikan,” kata Habel. Keadaan itu memaksa masyarakat Mosso berobat ke PNG. Meskipun itu artinya biaya kesehatan di PNG harus lebih mahal karena menggunakan mata uang kina yang nilai kursnya lebih tinggi dibandingkan dengan rupiah.

Ketiadaan aliran listrik dan sulitnya akses air juga menambah suasana kampung telantar bagaikan kota mati. Untuk memperoleh kebutuhan utama berupa air, warga menggali tanah tetapi warna airnya cokelat, hampir sama dengan warna sungai.

Sekolah dan “Ngojek”

Ketika panas menyengat, seolah matahari tinggal sejengkal di atas kepala, aku kebingungan mencari-cari pohon kelapa untuk memetik buahnya. Tapi tak ada. “Tidak ada kios di sini, butuh waktu 15 menit dengan ojek turun ke kampung sana untuk membeli kebutuhan hidup,” sambung Habel.

Kios yang ada pun hanya menjual bensin dan garam. Sementara itu pasar di perbatasan RI-PNG dibuka setiap Selasa, Kamis, dan Sabtu, ditutup pada pukul 15.00 sore.

Habel yang guru SD itu pun lantas menceritakan bahwa penghasilan masyarakat di Mosso minim. “Saya suka bingung anak-anak dapat uang dari mana? Ternyata terkadang anak-anak narik ojek sepeda motor ke PNG supaya dapat uang,” ungkap Habel. Biasanya anak-anak mengantar penduduk dari pintu perbatasan sampai pasar dengan upah 2 kina atau setara Rp 6.000. Jika muatan ditambah barang maka ongkosnya akan ditambah satu penumpang lagi. Setiap pengojek bisa mendapat uang antara 150-200 kina per hari.

Di daerah perbatasan itu hanya ada tujuh guru. Sementara di Kampung Mosso tidak ada guru yang menetap. Bahkan, guru lebih sering tidak datang sehingga anak-anak yang sudah berangkat menuju sekolah dengan menempuh jarak kurang lebih 2-3 kilometer terpaksa gigit jari kembali ke rumah tanpa membawa ilmu.

Billiam Poa, salah seorang anak Mosso dan murid terbaik Habel, mengaku kerap menumpang tinggal di gereja supaya lebih dekat dengan sekolahnya. Namun persoalan tetap mengadangnya, yaitu saat ini terhambat untuk mengikuti Ujian Nasional (UN) tingkat SMA karena peraturan baru Dinas Pendidikan dan Kebudayaan tahun ini menyangkut usia peserta UN. Billiam sudah melebih usia yang ditetapkan, karena saat ini umurnya sudah 23 tahun.

“Awalnya pemerintah menyarankan siapa saja yang mau bersekolah akan disekolahkan. Lalu Billiam masuk SMP saat itu,” ungkap Habel. Namun ternyata peraturan baru Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dibuat tanpa melihat kondisi yang dihadapi anak-anak di daerah pedalaman. Akibatnya, peraturan pemerintah itu justru menghentikan langkah Billiam untuk melanjutkan sekolahnya demi meraih cita-citanya.

Habel melanjutkan, dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) selalu ada, tapi tergantung pada kepala sekolah. “Dana BOS membantu jika sekolahnya besar. Jadi jika sekolahnya macam di sini yang muridnya hanya enam orang dan setiap anak mendapat bantuan Rp 45.000, jadi berapa yang kita dapat? Paling-paling hanya Rp 200.000-300.000. jumlah dana itu tidak bisa digunakan karena semua kebutuhan di sini mahal,” ia menambahkan.

Untuk mengatasi minimnya bantuan pemerintah untuk pendidikan, biasanya orang tua murid dan guru ikut berpartisipasi membeli kertas dan spidol. Namun pada 2010 sekolah sempat tidak menyelenggarakan ujian sekolah lantaran tidak punya dana untuk memperbanyak lembaran soal ujian. Barulah ketika tokoh adat dan masyarakat protes, pemerintah lebih memperhatikan masalah tersebut.

“Waktu Mama Kambu, istri wali kota menjabat sebagai kepala Dinas Pendidikan, semua fasilitas lengkap. Namun sejak beliau turun jabatan, semua jadi berantakan, dana-dana lebih untuk sekolah sudah tidak ada lagi,” ujarnya.

Habel punya murid yang terpaksa berhenti sekolah karena harus mengojek setiap hari. Malah, ada juga yang pergi ke sekolah tanpa makan. Maka Habel yang selain menjadi guru juga membuka kantin di sekolah itu, tidak jarang merelakan dagangannya untuk anak-anak tanpa keharusan membayar. “Terkadang mereka mengeluh pada saya, ‘Aduuuh... bapak guru, saya lapar’. Saya pun mempersilakan mereka makan di kantin saya. Habis gimana lagi?” sambung Habel.

Malah, secara umum masyarakat setempat hanya makan satu kali dalam sehari. Penduduk tidak punya pekerjaan karena berpikir bahwa alam yang menghidupkan mereka. Kegiatan mereka sehari-hari hanya berkebun lalu membakar pisang untuk dimakan, kemudian pulang ke rumah untuk tidur. Keesokan harinya mereka akan melakukan aktivitas yang sama karena mereka tidak menjual tanaman produktif.

Itulah cerita lara tentang Mosso. Meski alamnya menyimpan pesona yang mengagumkan, kenangan kelam tentang Mosso di masa lalu tak kan hilang begitu saja. Suka tidak suka, seluruh rakyatnya harus kembali bangkit membangun kehidupan yang dulu pernah dihancurkan oleh militer.

@ SHNEWS.CO

Dialog Pertahanan Internasional RI & Asia Pasific

Isu terorisme dan senjata nuklir menjadi perhatian serius.
Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, dan PM Timor Leste, Xanana Gusmao, dalam Jakarta International Defence Dialogue 2013
Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, dan PM Timor Leste, Xanana Gusmao, dalam Jakarta International Defence Dialogue 2013
YL - Para pejabat pertahanan dan militer dari puluhan negara Rabu kemarin memulai dialog di Jakarta untuk membicarakan strategi dan langkah bersama dalam menghadapi ancaman dan tantangan-tantangan di kawasan Asia Pasifik dan dunia. Berlangsung selama dua hari acara ini bertajuk Jakarta International Defense Dialogue 2013.

Ini merupakan kali ketiga JIDD digelar. Pertemuan tahun ini diikuti sekitar 1.300 peserta dari 38 negara dengan memfokuskan pada "Pertahanan dan Diplomasi di Kawasan Asia Pasifik."

Membuka JIDD, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyadari suara-suara yang menyatakan bahwa tantangan yang paling mendesak di Asia Pasifik kali ini adalah menghadapi persengketaan teritorial dan yurisdiksi yang tengah melibatkan sejumlah negara. Namun, bagi dia, itu adalah tantangan-tantangan yang sifatnya jangka panjang.

"Sebagian besar persengketaan teritorial dan yurisdiksi ini butuh waktu untuk bisa diselesaikan. Contohnya, upaya Indonesia dan Vietnam yang butuh 30 tahun untuk menuntaskan negosiasi batas-batas landas kontinen," kata Presiden Yudhoyono dalam pidato berbahasa Inggris.

Bagi dia, tantangan utama saat ini dalam mempromosikan keamanan internasional adalah bagaimana membangun kepercayaan strategis antarnegara di kawasan Asia Pasifik. "Kepercayaan Strategis" yang dimaksud di sini adalah secara bertahap menciptakan rasa saling percaya antarnegara.

"Saat dua pihak atau lebih mulai memiliki rasa percaya atas niat dan maksud baik dari pihak lain, maka di situlah muncul kepercayaan strategis. Ini akan memungkinkan mereka untuk kian bekerjasama, saling menanamkan kepercayaan dan juga bersama-sama menerapkan upaya-upaya mewujudkan perdamaian," kata Yudhoyono.

Sambil didengar oleh Perdana Menteri Xanana Gusmao, Presiden Yudhoyono juga mengambil contoh bagaimana Indonesia dan Timor Leste kini menggalang kerjasama secara erat setelah keduanya mengalami masa lalu yang sangat sulit dan menyakitkan. Banyak yang tadinya memprediksi bahwa konflik masa lalu bakal membuat hubungan Jakarta dan Dili terganggu secara permanen.

"Namun kami membuktikan bahwa prediksi itu salah. Dengan niat baik dan tekad yang kuat, baik Indonesia dan Timor Leste telah bekerja secara erat untuk menciptakan hubungan yang baru. TNI dan militer Timor Leste bekerja bersama untuk mengatur keamanan perbatasan," kata Yudhoyono.

Kedua pemerintah secara kreatif telah membuat suatu mekanisme dimana warga Timor Leste bisa bepergian ke Oecussi, yang berlokasi di dalam wilayah Indonesia. Kedua negara juga telah menyelesaikan lebih dari 90 persen demarkasi perbatasan darat - yang biasanya merupakan isu yang rumit bagi dua negara yang bertetangga. "Paling penting, kami telah menemukan cara untuk menanggapi isu-isu HAM masa lalu yang sensitif dengan membentuk Komisi Bersama Kebenaran dan Persahabatan," kata Yudhoyono.

Dia juga memaparkan bagaimana Indonesia mewujudkan perdamaian di Aceh setelah merangkul Gerakan Aceh Merdeka untuk bersama-sama berdamai, apalagi setelah tragedi Tsunami akhir 2004. Setelah melalui perundingan selama sekitar lima bulan, tercapai kesepakatan damai bersejarah setelah kedua pihak tidak lagi bermusuhan melainkan berubah menjadi mitra untuk mewujudkan perdamaian dan pembangunan.

Hubungan Indonesia-Timor Leste dan perdamaian di Aceh, bagi Yudhoyono, menjadi contoh bagaimana kepercayaan menjadi komoditas berharga yang tidak bisa dicapai secara mudah. "Ada banyak contoh di penjuru dunia dimana kepercayaan yang dicapai secara susah payah bisa buyar dalam semalam karena suatu insiden, miskomunikasi, harapan yang semu, perubahan kepemimpinan dan faktor-faktor lain. Kepercayaan, oleh sebab itu, merupakan pekerjaan yang tidak pernah selesai," kata Yudhoyono.    

Kepercayaan strategis seperti ini diperlukan untuk menanggapi perubahan dan tantangan-tantangan dalam hubungan internasional. Ini dipandang menjadi tantangan bagi hubungan AS-China, India-Pakistan, China-Jepang, dan begitu pula hubungan kedua Korea dan dalam mengatasi persengketaan teritorial di Asia Pasifik.
Perkuat Militer
Sebagai tuan rumah pertemuan, Indonesia juga menyadari bahwa dialog kali ini berlangsung di tengah besarnya ambisi negara-negara Asia Pasifik dalam memperkuat sistem pertahanan dan kapabilitas militer masing-masing. Ini dimungkinkan saat perekonomian di negara-negara Asia Pasifik tengah stabil, dibandingkan di kawasan lain seperti Eropa dan Amerika.

Mewakili tuan rumah, Menteri Pertahanan RI Purnomo Yusgiantoro mewanti-wanti para delegasi dialog bahwa pesatnya belanja militer dan kapabilitas sistem pertahanan bisa berisiko menciptakan kecurigaan dan memicul rivalitas di kawasan.

"Bila tidak disertai dengan transparansi yang bisa mendorong rasa saling percaya, maka bisa berisiko pada perlombaan senjata yang berdampak kurang baik bagi perdamaian dan stabilitas," kata Purnomo terkait JDD hari ini, yang dikutip kantor berita Reuters.

Dia juga mengingatkan bahwa JIDD kali ini tetap menyoroti perubahan-perubahan dalam lingkungan keamanan internasional dalam satu dekade terakhir dan bagaimana perubahan-perubahan itu membentuk perkembangan secara bertahap dalam perhatian pertahanan dan keamanan.

Upaya-upaya kontra terorisme dan kontra proliferasi senjata nuklir, beserta kerjasama militer konvensional, tetap menjadi perhatian serius. Dalam forum JIDD ini pula para pengambil kebijakan bisa menilai bahwa inistiatif-inisiatif yang ada selama ini belum cukup efektif untuk menghadapi ancaman-ancaman lintas negara.

Itulah sebabnya, kata Purnomo, JIDD dibentuk untuk memfasilitasi komunikasi yang mudah dan kontak yang berguna di kalangan peserta. Ini akan membantu menciptakan rasa kebersamaan di kalangan para pengambil kebijakan di negara-negara Asia Pasifik.
© VIVA.co.id