Senin, 11 Maret 2013

Koteka Budaya Pegunungan Papua Terancam Punah

Koteka Budaya Pegunungan Papua Terancam Punah

 
JAYAPURA,JK_ Koteka khas kaum pria di Pegunungan Papua terancam punah, seiring makin banyaknya anggota suku yang menggunakan pakaian modern. Sementara, koteka ternyata tak hanya pakaian, tapi juga fungsi lain.

"Pakaian tradisional Pegunangan Papua mulai ditinggalkan dan hanya generasi tua yang menggunakan," kata
staf peneliti Balai Arkeologi Jayapura, Hari Suroto, Minggu (10/3/2013). 

Sedangkan generasi muda suku itu, ujar dia, lebih suka menggunakan pakaian modern berbahan kain.
Pakaian tradisional Pegunungan Papua, tutur Hari, adalah paduan antara koteka dan lingkaran rotan yang dililitkan ke badan. Bahan koteka, sebut dia, adalah buah labu panjang yang dikosongkan isinya kemudian dikeringkan dengan dijemur di atas perapian. 

Setelah kering, labu tersebut dipasang di atas kemaluan lelaki Pegunungan Papua, dan diikat dengan tali rotan halus yang dililitkan di bagian pinggang hingga perut. 

Arti dan fungsi lilitan rotan

Setelah kering, lanjut Hari, dipasang di atas kemaluan (testis) pria dan diikat dengan tali rotan halus yang dililitkan di bagian pinggang hingga perut. Dia menjelaskan lingkaran rotan di perut dan badan, juga menunjukkan tingkat keberanian seorang pria dari suku itu.


"Semakin banyak lingkaran yang dimilikinya, berarti semakin tinggi pula tingkat keberanian dan status yang dimilikinya itu," kata Hari. Karena, rota hanya tumbuh di luar daerah Pegunungan Papua. Orang Pegunungan biasa menyebut rotan hanya tumbuh di daerah musuh, dan untuk memperolehnya harus menempuh risiko.

Lingkaran rotan dan koteka, juga bukan cuma pakaian dan perhiasan. Ada kegunaan lain dari pakaian tradisional ini, yaitu untuk membuat api. "Rata-rata pria Pegunugan membuat api dengan menggunakan sebuah tali rotan sebagai korek api," tutur Hari.

Untuk membuat api, seorang Pegunugan  akan mengambil sepotong rotan dari pakaian mereka, kira-kira sepanjang 60 sentimeter. Rotan itu lalu dililitkan ke sepotong kayu yang diletakkan di atas tanah, dikelilingi dengan rumput dan dahan kering. 

Lalu, lelaki itu akan berdiri, dengan masing-masing kaki menginjak ujung kayu. Dengan tangan, mereka kaan menarik tali rotan yang dililitkan tadi dengan cepat naik turun digesekkan ke kayu, sampai keluar asap, api mulai menyala, dan ujung tali putus terbakar. "Setelah itu, mereka menutupi kayu tersebut dengan rumput dan meniup sampai terjadi kobaran api yang besar," katanya.

Tak terdokumentasi

Hari mengatakan saat ini pakaian tradisional Pegunungan belum terdokumentasi dengan baik. Museum di Papua maupun di Jakarta belum memiliki koleksi pakaian ini.

Menurut Hari, perlu penelitian mendalam serta pendokumentasian lengkap dan baik, dalam beragam metoda pendokumentasian, sebelum pakaian ini benar-benar punah. Penggunaan pakaian tradisional ini dalam festival budaya maupun pada hari besar nasional, tambah dia, juga dapat menjadi cara untuk melestarikan pakaian tersebut.
 
Sumber :
ANT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar