
Sebagaimana lazimnya pasar tradisional, Pasar Youtefa, yang berada di Abepura, Jayapura
sejak pagi, telah ramai dengan kehadiran para pedagang dan pembeli.
Kami sengaja datang di pagi hari, untuk merasakan aura pasar tradisional
yang menjajakan hasil-hasil bumi ini. Di Pasar Youtefa
kita dijajakan dengan bermacam sayur mayur, umbi-umbian, ikan dan juga
kebutuhan rumah tangga lainnya. Juga tidak ketinggalan pinang dan sirih,
panganan khas masyarakat Papua, secara umum.
Para pedagang sebagian besar adalah masyarakat lokal.
Mereka membuka lapak dagangannya di pinggir jalan, persis seperti para
pedagang tradisional di Kota Medan. Yang unik dari mereka adalah, mereka
tidak menggunakan alat penimbang ketika menjual dagangannya. Barang
dagangan itu sudah ditumpuk-tumpuk dan diberi harga. Jadi, kita tidak
beli sekilo atu dua kilo, namun berapa tumpukan.
Para pedagang
identik dengan noken yang digantung di kepala mereka. Noken sendiri
adalah tas jaring yang merupakan ciri khas masyarakat Papua. Mereka
menaruh barang-barang pribadi mereka di noken. Kebiasaan ini menjadi
karakter kuat yang dimiliki masyarakat Papua. Dengan bibir yang
senantiasa merah karena sirih, mereka menjajakan barang dagangannya itu
dengan sabar.
Tradisi tawar menawar juga berlaku di pasar ini.
Hanya saja, sebagai pendatang, kami tidak begitu ngotot menawar. Apalagi
harganya juga relatif tidak mahal. Misalnya satu tumpukan sirih dan
pinang, yang jika ditaksir, beratnya sekitar setengah kilo, dijual
dengan harga Rp 10 ribu.
Merasakan suasana di Pasar Youtefa, di
pagi hari, memang cukup berkesan. Meski hiruk-pikuk masyarakat tidak
begitu riuh, semisal di pasar tradisional Medan, namun kehangatan yang
tercipta dari interaksi pedagang dan pembeli cukup terasa.
Sesekali tampak pembeli yang bukan masyarakat lokal, menawar barang yang hendak dibelinya.
Pemandangan
ini, jika diamati terasa kontras. Para pedagang yang notabene "orang
gunung" ini tampak serius melayani para pembeli, yang dari penampilannya
kelihatan lebih mapan secara ekonomi.
Tidak sedikit para
pedagang mengikutsertakan anak-anaknya yang masih kecil ikut berdagang.
Anak-anak ini dengan cekatan membantu orangtuanya. Sesekali mereka
tampak bersenda gurau dengan orangtuanya.
Sayang, penulis tidak
mengerti apa yang mereka perbincangkan, mengingat mereka menggunakan
bahasa lokal mereka.Tidak hanya kaum ibu saja yang berdagang, tetapi
juga kelompok bapak. Bahkan, menurut Elly, salah seorang warga lokal
yang mendampingi penulis, tak jarang mereka adalah satu keluarga.
Kehadiran
kami pun tampaknya mengusik perhatian mereka. Apalagi beberapa teman,
mulai sibuk membidikkan kameranya, meski dengan perasaan yang tidak
tenang. Maklum, ekspresi para pedagang ini cenderung datar.
Apalagi
dengan bibirnya yang merah, dan perawakannya yang keras, membuat
penampilan mereka terkesan "galak". Tapi kami yakin, mereka adalah
masyarakat yang ramah dan baik hati. Syukurlah ada Elly bersama kami.
Elly menjadi jembatan kami untuk berinteraksi dengan para pedagang itu.
Akhirnya kami membeli beberapa tumpuk pinang dan sirih.
Sirih di
Papua berbeda dengan sirih di Sumatera Utara. Bentuknya bukan daun,
melainkan bunga (mirip buah nangka yang masih sangat muda) dari tumbuhan
tertentu. Tumbuhan ini banyak dijumpai di hutan-hutan Papua. Rasanya
pun sedikit lebih kelat. Cara memakan sirih itu juga berbeda. Mereka
terlebih dulu mengunyah pinang muda, berserta kulitnya. Setelah itu,
bunga sirih yang telah dicampur dengan gambir.
Kebiasaan memakan
sirih, bagi masyarakat Papua, merupakan rutinitas sehari-hari. Tak hanya
dilakoni oleh orang tua saja, juga remaja dan anak-anak. Karenanya
tidak heran, di setiap sudut jalan, bahkan gang dapat kita temukan para
pedagang sirih. Karena kebiasaan itu pula, masyarakat Papua tidak begitu
suka dengan makanan pedas.
Sehingga di pasar tradisional Youtefa
ini, sangat jarang kita jumpai penjual cabai. Yang mendominasi adalah
sayur, umbi-umbian dan sirih. Begitu juga dengan buah-buahan. Komoditas
ini termasuk langka di bumi mutiara hitam ini.