Jumat, 29 Maret 2013

A high school student stabbed Knives By The Specific.

Piet Yogi, stabbing victims by unknown

Nabire-YL: High School hold a Kids First Meeting of activities including actors are victims of Committee activities so they held a meeting In the evening at around 7:00 to finish the evening, tggl, 27/03/13 They broke up and the victim perpetrator is he starting to run legs around Kalibobo Nabire the conclusion goal home at 11:00 after attending events at last meeting of the follow one man behind him so he told him last Congratulations Congratulations were given to make her emotions, then he started Stabbing using scythe against child hunger is the top high school Name Pit Yogi.

After He was in the stabbing, he began to flee home in conditions that force because the situation is severe then straps her stomach came out and all body parts sliced ​​or cut the line finally got home. Then after a few minutes of his family took him to the hospital Regional General (Hospital) Nabire, and he was appointed to the two-wheeled Motorcycles in condition while he Pingsang / does not know himself, and they enter the perpetrators victims in ER in the middle of night 12.00 but Medical personnel in hospital so let him. Do not care, not in the former sewing tikamanya up at noon the next day at 12.00 then act merontak victim offender families against the medical so start sewn, then the victim while the offender is in a severe condition in hospital General (Hospital) Nabire.

According to the victim after he realized actors, find the perpetrators killer in hospitals each escorted by the Police in Nabire on the eve of the families of victims are afraid to rebuke the offender mendugakan They murderer so that the stabbing which occurred disetin from certain parties that the Joint Police and the become leaders assassination is Nabire police themselves.


@
papuanusgobay.blogspot.com

Kamis, 21 Maret 2013

MSG membutuhkan peta jalan baru untuk 25 tahun ke depan


Cover of March 2013 edition of IBI
YK_The Spearhead Melanesia Group (MSG) membutuhkan 'peta jalan' untuk memandu pekerjaan untuk 25 tahun ke depan dan seterusnya.

"MSG masih muda dan berkembang, dengan berlimpah kesempatan, dengan target baru untuk bertujuan untuk dan prestasi baru yang diharapkan, kata Kaliopate Tavola, salah satu Eminent Person yang direkrut oleh kelompok sub-regional untuk memetakan cara baru ke depan untuk MSG.

Tavola adalah di antara kelompok yang dipilih dari para ahli dari Melanesia diundang untuk berbagi pandangan mereka tentang masa depan dari Grup ujung tombak Melanesia.

Dia mengatakan MSG harus 'membuka diri untuk peluang baru' karena bergulat dengan meningkatnya tantangan globalisasi dan perubahan geopolitik di wilayah tersebut.

"Salah satu tantangan adalah label 'arc ketidakstabilan' yang harus berbalik sebagai sarana untuk bercita-cita, pinjaman dari apa Sir Michael Somare disebut sebagai 'busur kemakmuran."Untuk muda Kanak dan Radio wartawan Djiido, Magalie Tingal, MSG adalah 'busur mereka kesempatan. Dia mengungkapkan keinginan rakyatnya untuk diintegrasikan ke Pasifik dan dengan MSG.

"MSG adalah masa depan kita. Budaya dan identitas kita adalah dengan Melanesia bukan di Eropa, kata Tingal.

Tavola, yang akan segera memimpin Grup Eminent Person untuk meninjau MSG, menggemakan pengamatan yang dibuat oleh Kepala Ulasan Grand PNG bahwa jika MSG adalah untuk tetap relevan, harus terus mendorong kemerdekaan akhirnya untuk Kanaks Kaledonia Baru dan mirip perjuangan rakyat Papua Barat di Indonesia.

Dia setuju dengan saran bahwa MSG membuka keanggotaannya, seperti yang disarankan oleh Sir Michael Somare.

"MSG harus membuka diri terhadap isu-isu baru, memperluas Terms of Reference nya. Ini harus memiliki beberapa derajat tanggap terhadap kepentingan diungkapkan dari orang-orang di luar organisasi.

"MSG adalah kelompok sub-regional hanya kuat, baik maju dan unik. Wilayah ini hanya bisa menjadi kuat jika kita memiliki yang kuat sub-regional kelompok seperti MSG. Daerah lain telah membentuk kelompok mereka seperti Kelompok Pemimpin Polinesia, Pulau Kecil Amerika dan Mikronesia.

MSG Direktur Jenderal, Peter Forau meyakinkan kelompok adalah 'bahu untuk bersandar pada' untuk masalah yang menyangkut keanggotaan. Dia menanggapi pertanyaan tentang mendorong kemerdekaan bagi orang asli New Caledonia.

"Kami adalah suara regional dan internasional bagi mereka yang tidak dapat berbicara untuk diri mereka sendiri 'kata Forau, meyakinkan bahwa pelanggaran HAM dan mendorong kemerdekaan bagi rakyat Papua Barat tidak dilupakan oleh MSG.

"Untuk Papua Barat, masalah adalah hak sensitif sedikit sekarang. Tapi kami terus berbicara menentang situasi di sana. Baru-baru ini, Perdana Menteri Papua Nugini berbicara menentang pelanggaran di Papua Barat.

"Kami memiliki beberapa kesulitan dengan Papua Barat karena masalah mereka adalah untuk kembali mendaftar dalam Daftar PBB negara decolonised. Namun, sebagai awal kami telah menerima aplikasi dari salah satu kelompok mereka untuk bergabung dengan MSG. Hal ini mengikuti proses normal persetujuan sebelum Pemimpin akan memutuskan pada bulan Juni, kata Forau.

Diskusi panel di Universitas South Pacific pada topik 'Apa MSG berarti Anda' diselenggarakan oleh Pacific International Relations Forum (PIRF). PIRF adalah sebuah inisiatif oleh mahasiswa Diplomasi dan Hubungan Internasional Program Master untuk menciptakan diskusi publik mengenai isu-isu regional dan internasional yang relevan untuk wilayah Pasifik.

@ islandsbusiness.

Kehidupan Di Kampung Mosso Belum Kembali Semula

Anak-anak bermain di halaman sekolah dasar di Kampung Mosso, perbatasan Provinsi Papua- Papua Nugini



Pada 1969, Kampung Mosso dimusnahkan militer. Sampai hari ini masyarakatnya masih menderita.

Alam menentukan nasibnya sendiri pagi itu, Sabtu (23/2) pagi. Langit sudah berselaput awan hitam sejak pagi hari, tapi tak kunjung turun hujan. Hawa sejuk mengiringi mobil APV sewaan yang membawaku bersama lima warga Papua menuju perbatasan Republik Indonesia (RI)-Papua Nugini (PNG).

Butuh kurang lebih tiga jam untuk melewati kampung-kampung kecil dengan pemandangan gunung dan bukit di sepanjang jalan. Aku memilih memasuki kampung terakhir di perbatasan, yaitu Kampung Mosso. Sebelum memasuki Mosso, sudut pandang tertambat pada pos Kostrad TNI yang dari jauh sudah terlihat berkelebat bendera Merah Putih dengan tulisan besar NKRI di sisi kanan dan kiri.

Saat melewati pos TNI itu, kaca mobil harus dibuka dan aku menyapa petugas dengan klakson mobil. Tentu mereka lantas membalas dengan senyuman sambil mengangkat sebelah tangan ke atas.

Beberapa saat kemudian, sesampainya di jembatan kayu yang belum permanen padahal sungai di bawahnya dihuni buaya-buaya liar, mau tak mau aku harus melintasinya dengan berjalan kaki. Jembatan yang hanya sanggup menahan beban berat manusia itu ternyata sudah diperbaiki tujuh kali oleh masyarakat.

Mosso adalah sebuah kampung kecil dengan hutan alami berupa pohon-pohon besar, sungai, telaga, serta kekayaan flora dan fauna. Kampung tersebut berada di Distrik Muara Tami, Kota Jayapura. Jumlah penduduknya ada sekitar 50 keluarga, di mana kurang lebih 30 keluarga di antaranya adalah mantan pelintas batas.

Pada 1969, kampung itu dimusnahkan lewat Operasi Tumpas yang dilakukan oleh prajurit TNI dengan cara membakar rumah-rumah masyarakat. Operasi Tumpas ditujukan terhadap mereka yang terlibat Organisasi Papua Merdeka (OPM). Masyarakat kemudian meninggalkan kampung halamannya dengan mengungsi ke Kampung Nyao dan Kofo, PNG.

Pada 1999, ketika suasana mulai kondusif, masyarakat mulai kembali ke kampung halaman Mosso. Pada Mei 2007, Pemerintah Kota Jayapura menetapkan Mosso sebagai kampung terakhir di daerah perbatasan RI-PNG.

Ketika menelusuri Kampung Mosso dengan berjalan kaki sejauh 2 kilometer, ada seorang guru muda yang memanduku. Namanya Habel Tandilian, peranakan Toraja dan Kei (Ambon). Suasana kampung hening dan suram, tak ada keceriaan anak-anak karena mereka bermain di rumah masing-masing yang jarak antar-rumah sekitar 50 meter dengan dikelilingi tumbuhan lebat.

Gedung-gedung yang terlihat masih baru memang ada, tapi tak tampak ada petugas di dalamnya. Misalnya gedung untuk kesehatan, petugas kesehatan hanya datang sesekali kemudian “lenyap” hingga tiga bulan lamanya. “Di sini kantor hanya dibangun, tidak difungsikan,” kata Habel. Keadaan itu memaksa masyarakat Mosso berobat ke PNG. Meskipun itu artinya biaya kesehatan di PNG harus lebih mahal karena menggunakan mata uang kina yang nilai kursnya lebih tinggi dibandingkan dengan rupiah.

Ketiadaan aliran listrik dan sulitnya akses air juga menambah suasana kampung telantar bagaikan kota mati. Untuk memperoleh kebutuhan utama berupa air, warga menggali tanah tetapi warna airnya cokelat, hampir sama dengan warna sungai.

Sekolah dan “Ngojek”

Ketika panas menyengat, seolah matahari tinggal sejengkal di atas kepala, aku kebingungan mencari-cari pohon kelapa untuk memetik buahnya. Tapi tak ada. “Tidak ada kios di sini, butuh waktu 15 menit dengan ojek turun ke kampung sana untuk membeli kebutuhan hidup,” sambung Habel.

Kios yang ada pun hanya menjual bensin dan garam. Sementara itu pasar di perbatasan RI-PNG dibuka setiap Selasa, Kamis, dan Sabtu, ditutup pada pukul 15.00 sore.

Habel yang guru SD itu pun lantas menceritakan bahwa penghasilan masyarakat di Mosso minim. “Saya suka bingung anak-anak dapat uang dari mana? Ternyata terkadang anak-anak narik ojek sepeda motor ke PNG supaya dapat uang,” ungkap Habel. Biasanya anak-anak mengantar penduduk dari pintu perbatasan sampai pasar dengan upah 2 kina atau setara Rp 6.000. Jika muatan ditambah barang maka ongkosnya akan ditambah satu penumpang lagi. Setiap pengojek bisa mendapat uang antara 150-200 kina per hari.

Di daerah perbatasan itu hanya ada tujuh guru. Sementara di Kampung Mosso tidak ada guru yang menetap. Bahkan, guru lebih sering tidak datang sehingga anak-anak yang sudah berangkat menuju sekolah dengan menempuh jarak kurang lebih 2-3 kilometer terpaksa gigit jari kembali ke rumah tanpa membawa ilmu.

Billiam Poa, salah seorang anak Mosso dan murid terbaik Habel, mengaku kerap menumpang tinggal di gereja supaya lebih dekat dengan sekolahnya. Namun persoalan tetap mengadangnya, yaitu saat ini terhambat untuk mengikuti Ujian Nasional (UN) tingkat SMA karena peraturan baru Dinas Pendidikan dan Kebudayaan tahun ini menyangkut usia peserta UN. Billiam sudah melebih usia yang ditetapkan, karena saat ini umurnya sudah 23 tahun.

“Awalnya pemerintah menyarankan siapa saja yang mau bersekolah akan disekolahkan. Lalu Billiam masuk SMP saat itu,” ungkap Habel. Namun ternyata peraturan baru Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dibuat tanpa melihat kondisi yang dihadapi anak-anak di daerah pedalaman. Akibatnya, peraturan pemerintah itu justru menghentikan langkah Billiam untuk melanjutkan sekolahnya demi meraih cita-citanya.

Habel melanjutkan, dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) selalu ada, tapi tergantung pada kepala sekolah. “Dana BOS membantu jika sekolahnya besar. Jadi jika sekolahnya macam di sini yang muridnya hanya enam orang dan setiap anak mendapat bantuan Rp 45.000, jadi berapa yang kita dapat? Paling-paling hanya Rp 200.000-300.000. jumlah dana itu tidak bisa digunakan karena semua kebutuhan di sini mahal,” ia menambahkan.

Untuk mengatasi minimnya bantuan pemerintah untuk pendidikan, biasanya orang tua murid dan guru ikut berpartisipasi membeli kertas dan spidol. Namun pada 2010 sekolah sempat tidak menyelenggarakan ujian sekolah lantaran tidak punya dana untuk memperbanyak lembaran soal ujian. Barulah ketika tokoh adat dan masyarakat protes, pemerintah lebih memperhatikan masalah tersebut.

“Waktu Mama Kambu, istri wali kota menjabat sebagai kepala Dinas Pendidikan, semua fasilitas lengkap. Namun sejak beliau turun jabatan, semua jadi berantakan, dana-dana lebih untuk sekolah sudah tidak ada lagi,” ujarnya.

Habel punya murid yang terpaksa berhenti sekolah karena harus mengojek setiap hari. Malah, ada juga yang pergi ke sekolah tanpa makan. Maka Habel yang selain menjadi guru juga membuka kantin di sekolah itu, tidak jarang merelakan dagangannya untuk anak-anak tanpa keharusan membayar. “Terkadang mereka mengeluh pada saya, ‘Aduuuh... bapak guru, saya lapar’. Saya pun mempersilakan mereka makan di kantin saya. Habis gimana lagi?” sambung Habel.

Malah, secara umum masyarakat setempat hanya makan satu kali dalam sehari. Penduduk tidak punya pekerjaan karena berpikir bahwa alam yang menghidupkan mereka. Kegiatan mereka sehari-hari hanya berkebun lalu membakar pisang untuk dimakan, kemudian pulang ke rumah untuk tidur. Keesokan harinya mereka akan melakukan aktivitas yang sama karena mereka tidak menjual tanaman produktif.

Itulah cerita lara tentang Mosso. Meski alamnya menyimpan pesona yang mengagumkan, kenangan kelam tentang Mosso di masa lalu tak kan hilang begitu saja. Suka tidak suka, seluruh rakyatnya harus kembali bangkit membangun kehidupan yang dulu pernah dihancurkan oleh militer.

@ SHNEWS.CO

Dialog Pertahanan Internasional RI & Asia Pasific

Isu terorisme dan senjata nuklir menjadi perhatian serius.
Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, dan PM Timor Leste, Xanana Gusmao, dalam Jakarta International Defence Dialogue 2013
Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, dan PM Timor Leste, Xanana Gusmao, dalam Jakarta International Defence Dialogue 2013
YL - Para pejabat pertahanan dan militer dari puluhan negara Rabu kemarin memulai dialog di Jakarta untuk membicarakan strategi dan langkah bersama dalam menghadapi ancaman dan tantangan-tantangan di kawasan Asia Pasifik dan dunia. Berlangsung selama dua hari acara ini bertajuk Jakarta International Defense Dialogue 2013.

Ini merupakan kali ketiga JIDD digelar. Pertemuan tahun ini diikuti sekitar 1.300 peserta dari 38 negara dengan memfokuskan pada "Pertahanan dan Diplomasi di Kawasan Asia Pasifik."

Membuka JIDD, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyadari suara-suara yang menyatakan bahwa tantangan yang paling mendesak di Asia Pasifik kali ini adalah menghadapi persengketaan teritorial dan yurisdiksi yang tengah melibatkan sejumlah negara. Namun, bagi dia, itu adalah tantangan-tantangan yang sifatnya jangka panjang.

"Sebagian besar persengketaan teritorial dan yurisdiksi ini butuh waktu untuk bisa diselesaikan. Contohnya, upaya Indonesia dan Vietnam yang butuh 30 tahun untuk menuntaskan negosiasi batas-batas landas kontinen," kata Presiden Yudhoyono dalam pidato berbahasa Inggris.

Bagi dia, tantangan utama saat ini dalam mempromosikan keamanan internasional adalah bagaimana membangun kepercayaan strategis antarnegara di kawasan Asia Pasifik. "Kepercayaan Strategis" yang dimaksud di sini adalah secara bertahap menciptakan rasa saling percaya antarnegara.

"Saat dua pihak atau lebih mulai memiliki rasa percaya atas niat dan maksud baik dari pihak lain, maka di situlah muncul kepercayaan strategis. Ini akan memungkinkan mereka untuk kian bekerjasama, saling menanamkan kepercayaan dan juga bersama-sama menerapkan upaya-upaya mewujudkan perdamaian," kata Yudhoyono.

Sambil didengar oleh Perdana Menteri Xanana Gusmao, Presiden Yudhoyono juga mengambil contoh bagaimana Indonesia dan Timor Leste kini menggalang kerjasama secara erat setelah keduanya mengalami masa lalu yang sangat sulit dan menyakitkan. Banyak yang tadinya memprediksi bahwa konflik masa lalu bakal membuat hubungan Jakarta dan Dili terganggu secara permanen.

"Namun kami membuktikan bahwa prediksi itu salah. Dengan niat baik dan tekad yang kuat, baik Indonesia dan Timor Leste telah bekerja secara erat untuk menciptakan hubungan yang baru. TNI dan militer Timor Leste bekerja bersama untuk mengatur keamanan perbatasan," kata Yudhoyono.

Kedua pemerintah secara kreatif telah membuat suatu mekanisme dimana warga Timor Leste bisa bepergian ke Oecussi, yang berlokasi di dalam wilayah Indonesia. Kedua negara juga telah menyelesaikan lebih dari 90 persen demarkasi perbatasan darat - yang biasanya merupakan isu yang rumit bagi dua negara yang bertetangga. "Paling penting, kami telah menemukan cara untuk menanggapi isu-isu HAM masa lalu yang sensitif dengan membentuk Komisi Bersama Kebenaran dan Persahabatan," kata Yudhoyono.

Dia juga memaparkan bagaimana Indonesia mewujudkan perdamaian di Aceh setelah merangkul Gerakan Aceh Merdeka untuk bersama-sama berdamai, apalagi setelah tragedi Tsunami akhir 2004. Setelah melalui perundingan selama sekitar lima bulan, tercapai kesepakatan damai bersejarah setelah kedua pihak tidak lagi bermusuhan melainkan berubah menjadi mitra untuk mewujudkan perdamaian dan pembangunan.

Hubungan Indonesia-Timor Leste dan perdamaian di Aceh, bagi Yudhoyono, menjadi contoh bagaimana kepercayaan menjadi komoditas berharga yang tidak bisa dicapai secara mudah. "Ada banyak contoh di penjuru dunia dimana kepercayaan yang dicapai secara susah payah bisa buyar dalam semalam karena suatu insiden, miskomunikasi, harapan yang semu, perubahan kepemimpinan dan faktor-faktor lain. Kepercayaan, oleh sebab itu, merupakan pekerjaan yang tidak pernah selesai," kata Yudhoyono.    

Kepercayaan strategis seperti ini diperlukan untuk menanggapi perubahan dan tantangan-tantangan dalam hubungan internasional. Ini dipandang menjadi tantangan bagi hubungan AS-China, India-Pakistan, China-Jepang, dan begitu pula hubungan kedua Korea dan dalam mengatasi persengketaan teritorial di Asia Pasifik.
Perkuat Militer
Sebagai tuan rumah pertemuan, Indonesia juga menyadari bahwa dialog kali ini berlangsung di tengah besarnya ambisi negara-negara Asia Pasifik dalam memperkuat sistem pertahanan dan kapabilitas militer masing-masing. Ini dimungkinkan saat perekonomian di negara-negara Asia Pasifik tengah stabil, dibandingkan di kawasan lain seperti Eropa dan Amerika.

Mewakili tuan rumah, Menteri Pertahanan RI Purnomo Yusgiantoro mewanti-wanti para delegasi dialog bahwa pesatnya belanja militer dan kapabilitas sistem pertahanan bisa berisiko menciptakan kecurigaan dan memicul rivalitas di kawasan.

"Bila tidak disertai dengan transparansi yang bisa mendorong rasa saling percaya, maka bisa berisiko pada perlombaan senjata yang berdampak kurang baik bagi perdamaian dan stabilitas," kata Purnomo terkait JDD hari ini, yang dikutip kantor berita Reuters.

Dia juga mengingatkan bahwa JIDD kali ini tetap menyoroti perubahan-perubahan dalam lingkungan keamanan internasional dalam satu dekade terakhir dan bagaimana perubahan-perubahan itu membentuk perkembangan secara bertahap dalam perhatian pertahanan dan keamanan.

Upaya-upaya kontra terorisme dan kontra proliferasi senjata nuklir, beserta kerjasama militer konvensional, tetap menjadi perhatian serius. Dalam forum JIDD ini pula para pengambil kebijakan bisa menilai bahwa inistiatif-inisiatif yang ada selama ini belum cukup efektif untuk menghadapi ancaman-ancaman lintas negara.

Itulah sebabnya, kata Purnomo, JIDD dibentuk untuk memfasilitasi komunikasi yang mudah dan kontak yang berguna di kalangan peserta. Ini akan membantu menciptakan rasa kebersamaan di kalangan para pengambil kebijakan di negara-negara Asia Pasifik.
© VIVA.co.id

Rabu, 20 Maret 2013

INDONESIA: Police and military officers molested a pregnant woman and arbitrarily arrested six civilians in Paniai, Papua

ASIAN HUMAN RIGHTS COMMISSION - URGENT APPEALS PROGRAMME Urgent Appeal Case: AHRC-UAC-045-2013

20 March 2013
---------------------------------------------------------------------
INDONESIA: Police and military officers molested a pregnant woman and arbitrarily arrested six civilians in Paniai, Papua
ISSUES: Arbitrary arrest & detention, inhuman & degrading treatment, military, police violence, sexual violence, violence against women, women’s rights
---------------------------------------------------------------------
Dear friends,
The Asian Human Rights Commission (AHRC) has received information regarding the raid conducted by a joint police and military force in Paniai, Papua. The raid was conducted to find members of the pro-independence group but the joint force arrested six civilians who are not related in any way with this group. Four officers of the joint force also molested a pregnant woman during the raid and physically assaulted her 18 month old baby.
CASE NARRATIVE:

The AHRC was informed by a local activist that in the evening of 7 February, 2013, a joint force of the Indonesian National Police and the Indonesian Military raided Ipakiye Village in East Paniai District, Papua. The joint force consisted of members of Papua Regional Police’s Mobile Brigade, Community Control Unit of Paniai District Police and the 753 Battalion of the Indonesian Military. The aim of the operation was to find members of the pro-independence group, Free Papua Movement (Organisasi Papua Merdeka, OPM). At around 9.30pm, the joint force raided the house of Stepanus Yogi, a civilian who is married to Dorpina Gobai and the father of a 18-month old baby. Just prior to the raid some other villagers of Ipakiye told Stepanus that the joint force was coming to his house so he ran for his life, leaving his wife and baby at the house.

Four officers forced their way into the house and asked Dorpina Gobay, who was in the six month of her pregnancy, the whereabouts of her husband. Dorpina could not answer the officers’ questions as she was shocked and only speaks the local language but not Bahasa Indonesia. As the joint force could not find Stepanus at the house, they took out their anger on Dorpina as well as her 18-month baby. Four officers stripped Dorpina, held her down and took in turns to grope her indecently. While some of the officers were sexually molesting her, some others turned her baby upside down and shook him harshly until he cried. The officers later left the crying baby and Dorpina and joined with the other members of the joint force.

The raid was continued at the house of Musa Yeimo, the leader of the local church. He and his family were still asleep when the joint force surrounded the house and forcibly entered it. Musa Yeimo was later arrested along with Benny Yeimo, Mesak Yeimo, Sam Yeimo, Kalep Yeimo and Alpius Nawipa – all civilians, members of Ipakiye KINGMI Church and not associated with the pro-independence group. The six civilians were later brought to Paniai District Police Station.

Following the arrest and detention of these six civilians, the residents of Ipakiya Village held two public protests demanding their release. The police unconditionally released Musa Yeimo and the other five individuals on 9 March 2013 as there were no evidence that they were involved in the pro-independence movement.

ADDITIONAL INFORMATION:

A report sent by a local activist to the AHRC reveals that during February-March 2013 only at least 12 civilians have been subject to arbitrary arrest and detention by the joint force of the Indonesian National Police and the Indonesian Military. Most of them were arrested and detained because the police suspected they were involved in the pro-independence movement - an allegation which even if proven would not alter the fact the arrest was a violation of their human rights. Under the notion on the right to freedom of association, getting involved in a non-violent political organisation should not be classified as a crime.

The day before the raid in Ipakiye Village, on 6 February 2013, a civil servant was arrested and detained for six nights at Paniai Sub-District Police station on the false allegation of his involvement in the activities of OPM. Four civilians were also arrested separately on 25 February 2013 in the villages of Bobaigo and Daoguto for similar allegation. The report also informs that a civilian was arrested by the police on 11 March 2013 for a fabricated charge on murder. The police beat him during the arrest to the point where his lips were bleeding.

The AHRC has published several cases concerning the arrest of Papuans by Indonesian law enforcement officials for unreasonable allegation on their involvement with the pro-independence group. On 27 November 2012, Frengky Uamang was arrested as the police suspected that he had provided food for the members of OPM. Frengky was severely tortured for two days so that he was not able to walk after the police released him and found out that he was not involved with the OPM. Earlier this year on 15 February 2013, the police also arrested and tortured seven civilians in Jayapura in two separate occasions on the basis of having a relationship with the pro-independence group.
Under Indonesian law, victims of arbitrary arrest and detention may submit a complaint to the District Court demanding for rehabilitation and compensation. They may also submit a complaint to the Professionalism and Security Unit (Propam), a monitoring mechanism within the police, but the proceeding is not impartial, not transparent and, at its best, will only lead to disciplinary punishment of the responsible police officers.

SUGGESTED ACTION:
Please write to the relevant Indonesian authorities demanding them to ensure those who are responsible for the arbitrary arrest and sexual molestation during the operation to be brought to justice. Please also urge them to provide rehabilitation and adequate compensation for the victims in this case. The list of the authorities is provided below.

The AHRC is writing separately to the UN Working Group on Arbitrary Detention and the UN Special Rapporteur on the Rights to Freedom of Peaceful Assembly and of Association.

SAMPLE LETTER:
Dear ___________,
INDONESIA: Police and military officers molested a pregnant woman and arbitrarily arrested six civilians in Paniai, Papua
Name of victims:
1. Dorpina Gobay, 21 year old;
2. SG, 18 month old;
3. Stepanus Yogi;
4. Musa Yeimo, 48 year old;
5. Benny Yeimo, 27 year old;
6. Mesak Yeimo, 25 year old;
7. Kalep Yeimo, 21 year old;
8. Alpius Napiwa, 28 year old.

Names of alleged perpetrators: Members of Indonesian National Police and Indonesian Military Joint Force (Mobile Brigadiers of Papua Regional Police, Community Control Unit of Paniai District Police, TNI 753 Battalion)

Date of incident: 7 February 2013

Place of incident: Ipakiye Village, East Paniai District, Papua
I am writing to voice my deep concern regarding the raid conducted by a joint force of the Indonesian National Police and the Indonesian Military at Ipakiye Village, East Paniai District, Papua, on 7 February 2013. I have been informed that in the raid which was meant to find the members of a pro-independence group, Free Papua Movement (Organisasi Papua Merdeka, OPM), six civilians were arrested and one woman was sexually molested.

I was told that at about 9.30pm that day, members of Papua Regional Police’s Mobile Brigadier, Paniai District Police’s Community Control Unit, as well as the Indonesian Miiltary 753 Battalion raided the house of Stepanus Yogi. Yogi managed to escape from the raid as the other villagers told him in advance that the joint force was coming. However, his wife, Dorpina Gobai, and his 18 month year old baby, SG, were at the house when four police officers came in. As they could not find Stepanus, they took their anger out at Dorpina and the baby. They stripped Dorpina, held her down and took turns groping her indecently. They also harshly shook the 18 month old baby upside down until it started crying. Dorpina Gobai was in her six month pregnancy when the molestation took place.

After sexually molested Dorpina, the four officers joined the members of the joint force who continued their raid to the house of Musa Yeimo, the leader of the local church, who was asleep. Along with Benny Yeimo, Mesak Yeimo, Kalep Yeimo and Alpius Napiwa, Musa Yeimo were arrested and detained at Paniai District Police station in Madi. During detention, the police interrogated them with questions regarding their involvement with the OPM. They were released on 9 March 2013 after the residents of Ipakiye village held two public protests demanding their release and the police did not find any evidence concerning their involvement with the pro-independence group.

I am extremely concerned that arbitrary arrest and detention are very common in Papua. A local activist reported that during February-early March 2013 alone, at least 12 civilians had been arrested by the Indonesian law enforcement officials. Eleven of them –including Musa Yeimo and his relatives- were arrested on an unreasonable allegation regarding their involvement with the OPM. I am aware that previously in Kwamki Baru District in November 2012, Frengky Uamang, was also arrested and tortured for a similar reason. The same case took place in Jayapura earlier this year when seven Papuans were arrested separately in two occasions on 15 February 2013. All these individuals are merely individuals and not members of the OPM. Yet even if they were, I wish to emphasise that the right to freedom of association guarantee that individuals should not be taken to the criminal proceeding merely for their involvement with a non-violent political group.

I am aware that under Indonesian Criminal Procedure Code, victims of arbitrary arrest and detention can submit a complaint to the court asking for rehabilitation and compensation. The victims can also lodge a complaint to the internal mechanism of the police and it may lead to the handing down of disciplinary punishment to the responsible officers. I am of the view that the mentioned mechanisms are not adequate and proper legal venue that may provide the victims with justice. An independent mechanism in which the responsible can be held criminally responsible is what is needed.

Given this, I am urging you to ensure an independent and effective investigation on this matter to take place. Those who are responsible for the arbitrary arrest and detention of the civilians should be brought to justice and the four officers who sexually molested Dorpina Gobai and assaulted her baby should be proportionately punished. Rehabilitation and adequate compensation shall also be provided to all the victims in this case.

I look forward to your positive and swift response on this matter.
Yours sincerely,
----------------
PLEASE SEND YOUR LETTERS TO:
1. Mr. Susilo Bambang Yudhoyono
President of Republic of Indonesia
Jl. Veteran No. 16
Jakarta Pusat
INDONESIA
Tel:  +62 21 386 3777 , 350 3088.
Fax: + 62 21 344 2223, 3483 4759
E-mail: presiden@ri.go.id
2. Ms. Harkristuti Harkrisnowo
General Director of Human Rights
Ministry of Law and Human Rights
Jl. HR Rasuna Said Kav. 6-7
Kuningan, Jakarta 12940
INDONESIA
Tel:  +62 21 525 3006 , 525 3889
Fax: +62 21 525 3095
3. Gen. Timur Pradopo
Chief of the Indonesian National Police
Jl. Trunojoyo No. 3
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110
INDONESIA
Tel:  +62 21 384 8537 , 726 0306
Fax: +62 21 7220 669
E-mail: info@polri.go.id
4. Ir. Gen. Drs. Tito Karnavian
Chief of Papua Regional Police
Jl. Dr. Sam Ratulangi No. 8
Jayapura
INDONESIA
Tel:  +62967 531 014 , 533 396
Fax: +62967 533 763
5. Kombes Pol. Drs. Sudarsono
Head of Security and Professionalism Division
Papua Regional Police
Jl. Dr. Sam Ratulangi No. 8
Jayapura
INDONESIA
Tel:  +62967 536 198 
6. Mr. Agus Suhartono
Commander-in-Chief of the Indonesian Military
Mabes TNI
Cilangkap, East Jakarta
INDONESIA
Tel:  +62 21 8459 1243 
Fax: +62 21 845 6805
7. Ms. Siti Nur Laila
Chairperson of the National Human Rights Commission
Jl. Latuharhary No.4-B,
Jakarta 10310
INDONESIA
Tel: +62 21 392 5227-30
Fax: +62 21 392 5227
Email: info@komnas.go.id

Thank you.
Urgent Appeals Programme
Asian Human Rights Commission (ua@ahrc.asia)

West Papua becoming a domestic issue within Melanesia

Politicians and voters in Melanesian countries often see the West Papuan issue very differently, according to a Professor of Pacific Island politics in New Zealand.
West Papua becoming a domestic issue within Melanesia (Credit: ABC)

John Fraenkel, from Victoria University in Wellington, says the fact that West Papua has become a domestic issue in Vanuatu politics shows how significant it is.

The opposition is challenging the government in Vanuatu, and one of it's main reasons for doing so is that it alleges the ruling coalition is not supporting the mainly Melanesian and Christian population of the Indonesian province of Papua.

Jon Fraenkel tells Bruce Hill that something which had been seen as a foreign affairs issue is becoming something of a domestic issue in Melanesian politics.

Presenter: Bruce Hill.

Speaker:Professor Jon Fraenkel, from the Victoria University of Wellington in New Zealand.
FRAENKEL: It's often the case that international or regional policy issues are fought out in domestic politics in some of the Melanesian states, it's also the case in Vanuatu that the difference between support and Opposition to the government of Frank Bainimarama in Fiji has been an issue between government and Opposition and now it's playing out on the West Papua side. And I think one of the reasons why there's some change away from the Vanuatu Government sympathy for the West Papuan secessionist cause, well first it's because of increased into Indonesian diplomacy in the region, secondly perhaps it's because Indonesia itself has changed over the last decade, with a shift towards democracy. And thirdly, it's also because of a recognition that there are complexities in the situation of the policy stance towards the position of West Papua and Papua in Indonesia.

HILL: Most of the ordinary people of Melanesian seem to have a great deal of sympathy for what they see is the West Papuan cause. They see that half of New Guinea Island is Wanpela graun, you know they see them as Wantoks. Why is it that this view of the ordinary people doesn't seem to translate through into that the government see it. Is it to do with aid from Indonesia, is it to do with security concerns, especially with PNG having a very long border with Indonesia?

FRAENKEL: I think there's little knowledge about what's actually within Melanesia, that what's actually going on inside Indonesia or inside West Papua and to the extent that there are any contact, it tends to be with representatives of the Independence Movement. It's worked very well. There are different strands of opinion within West Papua and there certainly have been strands of opinion within the West Papuan Movement that have been pressing for a greater degree of autonomy, a greater degree of self-government. They're allied to various Indonesian forces. Although there is a strong independence movement and electoral trends tend to show considerable backing for the independence position within West Papua and nevertheless, there are different positions as well about how to adjust to and negotiate with Jakarta.

HILL: What role does West Papua really play in the internal debate within Indonesia? It's something we don't often hear about here in the Pacific. I mean the popular idea is that a lot of the people in Indonesia were so terrified when they lost East Timor, that they think there's some sort of conspiracy to break West Papua away from the republic which is why they seem to be clinging even tighter to it.

FRAENKEL: Well, this is a very strong sense of West Papua being part of the core of Indonesia, that it's, that Indonesian nation is inconceivable without West Papua. Of course, that might change if there were a strengthening of the independence movement or further difficulties within Indonesia, but I think it's certainly very important in the military, for example, and the political elite to keep hold of West Papua.

HILL: What is Indonesia's sort of diplomatic stance towards the Pacific? Do they see Melanesia as always somehow a little bit of opposed to them because of West Papua or do they see it as a potential source of ally?

FRAENKEL: Well, it's directly I think there's been very little engagement on the part of Indonesia towards the Pacific Islands. I remember a few years ago when just prior to the Regional Assistance Mission to the Solomon Islands started. There was a lot of hype about Indonesia perhaps making some offer to the Solomon Islands that they would go and I don't see any evidence of this. I think there was. Indonesia is much more concerned about its own internal issues and its position in South East Asia and not so concerned really with its Melanesian diplomacy, although there has been some increase over recent months. I wouldn't put too much emphasis on that.

Of course, some Indonesian officials also have been in some degree and advising the military government in Fiji.

source: radioaustralia.net.au

Selasa, 19 Maret 2013

BEASISWA

Info Sekolah
Nama SMA YPK Nabire
NPSN 60301902
Tipe Swasta
Alamat Jl. Kusuma Bangsa
Propinsi Papua
Kab/Ktmdy Kab. Nabire
Jenjang SMA
 
 Kontak
Telepon-
Fax-
Email-
Website-
tut wuri handayani
 
Pemerintah Provinsi Papua Bekerjasama dengan YayasAn Universitas Pelita Harapan, memberikan BEASISWA bagi putra-putri terbaik Papua yang memiliki panggilan menjadi pendidik, dan berkarya untuk membangun pendidikan di Pupua.

tempat pendaftaran:
Nabire.
SMA YPK Nabire
Jl. Kusuma bangsa, Kel.Oyehe Nabire-Papua.
Presentasi dan informasi
Senin 22 april 2013, 14:00 WIT- selesai
Ujian saringan masuk
Selasa 23 April 2013, 08:00 WIT- selesai
Informasi Pendaftaran
Dra. Orpa Aibekop
 +6281344826531

Rabu, 13 Maret 2013

Dipenjara oleh Indonesia tapi masih berkampanye untuk kebebasan


(http://www.dailypost.vu/)

Wenda tidak mengalahkan tentang semak ketika ia menyatakan bahwa Indonesia harus telah meminta izin dari Papua Barat untuk meminta Status Observer di Grup ujung tombak Melanesia.

Sementara Duta Besar Indonesia telah menjawab bahwa Papua Barat seharusnya meminta izin dari Indonesia untuk mencari keanggotaan penuh MSG, Wenda mengatakan Papua Barat adalah bagian alami dari Melanesia dan pendekatan yang paling logis bagi Indonesia untuk mengambil seharusnya untuk Jakarta untuk meminta izin dari Papua Barat untuk mencari Status Observer di MSG.

Australia tidak bisa mengabaikan pelanggaran hak asasi di Papua Barat

-------> http://www.onlineopinion.com.au/view.asp?article=14785&page=2   ( Mardi 12 mars 2013 )

L'AUSTRALIE QUI IGNORE DÉJÀ LES DROITS DES ABORIGÈNES DANS LEUR PROPRE PAYS LEUR MINISTRE DES AFFAIRES ÉTRANGÈRE REJETTE LE SOUTIENT DE L'AUSTRALIE A LA PAPOUASIE OCCIDENTALE. POUR LUI LA LIBERTÉ DES PAPOUS EST «  IDÉALISTE » ET «  TOUT A FAIT INCONCEVABLE » CE QU'IL EN COÛTE EN TERMES DE NOTRE AMITIÉ AVEC L' INDONÉSIE ET EN FONCTION DE NOTRE BUDGET D'UN ARRANGEMENT DIFFÉRENT.

ON ESTIME QUE PRÈS DE 500.000 PAPOUS ONT ÉTÉ TUÉS DEPUIS QUE  L'INDONÉSIE A PRIS LE CONTRÔLE.  LE CENTRE DE  RECHERCHE  POUR LA PAIX ET LES CONFLITS À L'UNIVERSITÉ DE SYDNEY S'EST DIT QUE  SI LA SITUATION DES PAPOUS CONTINUE CELA CONSTITUE C'EST   UN GÉNOCIDE.

La Papouasie Occidentale cherchent un terme aux violations des droits de l'homme, la fin de l'occupation illégale de l'Indonésie et l'ouverture de la province à un contrôle étranger par les médias et les organisations de droits humains. En dépit d'être l'un de nos plus proches voisins mélanésiens, au nord seulement 300 km de l'Australie, de nombreux Australiens ont peu de connaissances de la Papouasie occidentale, ses gens, la culture et l'histoire.
(…)
L'Australie a toujours fait passer ses intérêts stratégiques avant  la reconnaissance des droits des Papous. 
----------> 1962 crainte de la guerre froide , soutient de l'Australie pour le transfert effectif de la Papouasie-Occidentale à l'Indonésie par un traité rédigé par les États-Unis.
-----------> 1969 soutient pour le référendum de Papouasie-Occidentale bien qu'il soit largement 
critiqué comme étant un vote imposture.

(...)
On estime que près de 500.000 Papous ont été tués depuis que  l'Indonésie a pris le contrôle.  Le Centre de  recherche  pour la paix et les conflits à l'Université de Sydney s'est dit que  si la situation des Papous continue cela constitue c'est   un génocide.

Malheureusement, en dépit des appels de Benny  Wenda à mettre  un terme à l'occupation illégale de l'Indonésie et les graves violations des droits de l'homme, le ministre des Affaires étrangères rejette le soutien de l'Australie à la  Papouasie occidentale il interprète leur liberté comme  «idéaliste» et «tout à fait inconcevable», craignant «ce qu'il en coûte en termes de notre amitié avec l' Indonésie et en fonction de notre budget d'un arrangement différent.
Cependant, Jennifer Robinson reconnaît qu'il ya un certain nombre de choses Australie pourrais faire, tout en respectant l'intégrité territoriale de l'Indonésie. Cela inclut, en poussant un meilleur accès pour les journalistes afin que nous sachions ce qui se passe là-bas, ainsi que soulever un certain nombre de préoccupations relatives aux droits de l'homme consacrés dans les accords de l'ONU à laquelle l'Indonésie est signataire.
(http://www.onlineopinion.com.au/view.asp?article=14785&page=2)

AUSTRALIA YANG SUDAH MENGABAIKAN HAK-HAK ORANG-ORANG ABORIGIN DI NEGARA MEREKA SENDIRI MEREKA MENTERI LUAR NEGERI MENOLAK DUKUNGAN DARI AUSTRALIA MEMILIKI DI PAPUA BARAT. BAGINYA KEBEBASAN PAPUA ADALAH "IDEALIS" DAN "BENAR-BENAR TAK TERBAYANGKAN" BIAYA DALAM HAL PERSAHABATAN KITA DENGAN INDONESIA, DAN MENURUT ANGGARAN KAMI UNTUK PENGATURAN YANG BERBEDA.

DIPERKIRAKAN BAHWA HAMPIR 500.000 ORANG PAPUA TELAH TERBUNUH SEJAK INDONESIA MENGAMBIL KENDALI. PUSAT PENELITIAN PERDAMAIAN DAN KONFLIK DI UNIVERSITY OF SYDNEY MENGATAKAN BAHWA JIKA SITUASI ORANG PAPUA BARAT TERUS INI GENOSIDA.

Di Papua Barat sedang mencari mengakhiri pelanggaran hak-hak manusia, akhir pendudukan ilegal Indonesia dan pembukaan provinsi untuk mengontrol luar organisasi media dan hak asasi manusia. Meskipun menjadi salah satu tetangga Melanesia terdekat di Utara hanya 300 km dari Australia, banyak orang Australia memiliki sedikit pengetahuan tentang Papua Barat, orang-orang, budaya dan sejarah.
 
Australia telah selalu meningkatkan kepentingan strategis sebelum pengakuan hak-hak masyarakat Papua.
tahun 1962 takut perang dingin, mendukung Australia untuk transfer efektif Papua Barat ke Indonesia oleh perjanjian yang disusun oleh Amerika Serikat.
1969 mendukung untuk referendum Papua Barat meskipun luas kritis sebagai suara palsu.
Diperkirakan bahwa hampir 500.000 orang Papua telah terbunuh sejak Indonesia mengambil kendali. Pusat Penelitian Perdamaian dan konflik di University of Sydney mengatakan bahwa jika situasi orang Papua Barat terus ini adalah genosida.

Sayangnya, meskipun panggilan oleh Benny Wenda untuk mengakhiri pendudukan ilegal Indonesia dan pelanggaran-pelanggaran serius hak-hak manusia, menteri luar negeri menyangkal dukungan dari Australia ke Papua ia menafsirkan kebebasan mereka sebagai "idealis" dan "benar-benar tak terbayangkan", takut apa yang biaya dalam hal persahabatan kita dengan Indonesia dan tergantung pada anggaran kami dari pengaturan yang berbeda.

Namun, Jennifer Robinson mengakui bahwa ada beberapa hal yang bisa melakukan Australia, sementara menghormati integritas teritorial Indonesia. Ini termasuk mendorong akses yang lebih baik untuk wartawan sehingga kami tahu apa yang terjadi di sana, serta menimbulkan sejumlah kekhawatiran tentang HAM yang diabadikan dalam Perjanjian Perserikatan Bangsa-bangsa yang Indonesia adalah salah satu penandatangan. 

Senin, 11 Maret 2013

PT Freeport Rusak Kualitas Hidup Orang Kamoro

PT Freeport Rusak Kualitas Hidup Orang Kamoro
(Alat pengangkut material Freeport/travel.detik)
Sejak turun temurun  orang-orang  Kamoro di dataran rendah Kabupaten Mimika, Provinsi Papua menikmati keindahan alam hutan bakau dan sagu. Bahkan kehidupan ini telah berlangsung lama dan kebiasaan membangun bivak-bivak atau dalam bahasa Kamoro disebu“Kapiri Kame”. Kapiri kame merupakan tempat tinggal sementara bagi setiap taparu atau klen untuk mencari sumber makanan bagi kehidupan mereka sehari-hari.

Wilayah Suku Kamoro hampir sebagian besar termasuk dalam areal kerja PT Freeport atau dikategorikan sebagai low land area karena berada di dataran rendah Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. Di dalam areal kontrak karya II PT FI  berdiam pula delapan sub suku Kamoro antara lain, sub suku Nawaripi, sub suku Tipuka, sub suku  Mwapi, sub suku Kaugapu,sub Suku Hiripau,sub suku Iwaka, subsuku Fanamo dan Omawita.

Masing-masing sub suku ini terbagi pula dalam taparu-taparu. Taparu (klen) memiliki hak penguasaan dan kepemilikan  masing-masing atas tanah ulayat(adat) dan sungai-sungai. Jadi kepemilikan atas sungai sangat mirip dengan kepemilikan atas tanah. Setiap taparu sudah mengenal arealnya sendiri saat mencari sumber makanannya. Bahkan untuk mengitari kawasan taparu sudah pasti memakan waktu berbulan-bulan.

Suku Kamoro juga mempunyai aturan-aturan tertentu(pranata lokal) yang berlaku secara semi otonom, untuk kehidupan ekonomi dalam mempertahankan kehidupan mereka tetap mengakui taparu (klen) yang memiliki hak milik atas tanah adat, terutama hulu dan hilir sungai-sungai di sekitar wilayah adat.

Namun kehidupan mereka mulai terusik tatkala PT Freeport mulai menancapkan tajinya sejak 1967. Saat itu demi pembangunan dan perluasan areal PT Freeport, Suku Kamoro dan Amungme telah kehilangan lahan secara berturut-turut seluas 100.000 hektar.

Beberapa tahun kemudian antara 1983-1985, orang Amungme dan Kamoro kembali kehilangan tanah adat seluas 7000 hektar untuk pendirian Kota Timika. Kemudian tanah seluas 25.000 hektar kembali hilang untuk pembangunan Kota Kuala Kencana seluas 25.000 hektar (Perjuangan Amungme Antara Freeport dan Militer, Elsam Jakarta 2003).

Dampak utama dari aktivitas PT Freeport Ind di Kabupaten Mimika, khususnya bagi masyarakat Suku Kamoro jelas akan membuat sungai-sungai  menjadi dangkal dan sangat mempengaruhi bagi kualitas air minum. Bayangkan masyarakat yang hidup di atas air atau lazimnya disebut manusia sungai, sagu dan sampan mulai sulit berperahu di atas kali yang dangkal. Bukan hanya itu saja, kualitas air minum juga mengalami perubahan berarti dan tak mungkin di konsumsi lagi.

Prof Dr Karel Sesa, Ketua Program Studi Pasca Sarjana Universitas Cenderawasih  dalam studinya menyebutkan warga di Kampung Kali Kopi, Kampung Nawaripi,Kampung Nayaro,Kampung Tipuka,Kampung Koperapoka, Kampung Fanamo, dan Kampung Omawita menyatakan hadirnya PT FI di Bumi Kamoro sebanyak 10 persen bilang sumber air minum baik.  Sedangkan sisanya sebanyak 90 persen menyatakan sumber air minum tidak baik alias tak layak diminum karena terkena dampak limbah tailing.

Akumulasi sedimentasi tailing ke wilayah permukiman warga Kamoro akan terus meningkat seiring dengan aktivitas penambangan produksi dari 240.000 ton per bijih per hari hingga mencapai kapasitas maksimal 300.000 ton bijih per hari pada pasca penambangan 2041.

Walau demikian PT FI mencoba menjadikan Kampung Nayaro sebagai model percontohan permukiman bagi warga Kamoro. Antropolog dari Universitas Negeri Semarang, Nugoroho Trisnu Brata konsultan Yayasan Sejati yang mendampingi masyarakat di Kampung Nayaro mengatakan lokasi permukiman  baru terletak di tengah hutan dan berada dekat dengan sungai. Posisi ini jelas akan memudahkan  warga untuk mencari kebutuhan makan seperti sagu, mencari binatang buruan dan mudah menangkap ikan.

Dalam pandangan hidup masyakarat Kamoro yakni 3 S (Sagu, Sungai dan Sampan) sebagai gambaran tentang keterkaitan hidup mereka terhadap lingkungannya. Sagu dan ikan menjadi makanan pokok orang Kamoro, perahu atau sampan merupakan alat transportasi yang paling murah di sungai. Apalagi bagi orang Kamoro, sungai adalah bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat, secara tradisi lokasi permukiman di bangun di pinggir sungai.

Meskipun lokasi percontohan permukiman warga Kamoro di Kampung Nayaro bisa dianggap hampir mendekati ideal. Namun kenyataan di lapangan sudah pasti akan berbeda, dan masyarakat masih berada di persimpangan jalan.

Tak heran kalau Nugroho Trisnu Brata antropolog Universitas Negeri Semarang menyebutkan kalau masyarakat Kamoro di Kampung Nayaro termasuk dalam kategori masyarakat liminalitas.
Masa liminalitas adalah masa di mana sebelumnya mereka adalah masyarakat peramu dan berburu karena adanya “perubahan lingkungan maka tradisi itu menjadi mandeg.” Kini mereka berada dalam fase antara bukan lagi murni sebagai masyarakat peramu  dan juga belum secara penuh menjadi petani.

Kehidupan menetap di dalam rumah yang jauh dari akses terhadap sumber bahan makanan(dusun sagu, sungai dan pantai, sampan) semakin menjadi beban bagi masyarakat Kamoro dalam menjalani kehidupan liminalitas ini.

Menurut Nugroho Trisnu Brata massa liminalitas Suku Kamoro adalah massa peralihan dari struktur masyarakat peramu dan berburu yang akan beralih menjadi masyarakat petani. Padahal kenyataannya untuk menjadi seorang petani ulet bukanlah sebuah pekerjaan mudah dan gampang. Yang jelas membutuhkan kesabran dan proses yang lama, bukan instan, tentunya perubahan ini akan terjadi dari generasi ke generasi.

@ [001-Tribunnews]

Budidayakan Sagu Bisa Hindari Krisis Pangan di Masa Mendatang

Budidayakan Sagu Bisa Hindari Krisis Pangan di Masa Mendatang

 

Sagu termasuk makanan pokok masyarakat Papua yang perlu dibudidayakan agar tidak lekas punah akibat pengembangan industri dan juga pengembangan wilayah pembangunan. Sagu termasuk pangan lokal yang tahan terhadap hama dan juga belum ditangani secara serius.

Sagu (metroxylon) termasuk tanaman sejenis kelapa yang banyak tumbuh di dataran rendah dan berair atau tanah yang basah. Berbeda dengan kelapa sawit, sagu tak begitu menyerap banyak air. Tumbuhnya pun berkelompok seperti tanaman pohon pisang. Satu rumpun pohon sagu terdiri atas 2 – 3 pohon. Jika pohon sagu sudah besar, menurut penelitian dapat mencapai 120 jenis sagu dan dibagi 2 yang berdiri dan tidak berdiri. Sagu memiliki nilai karbohidrat tinggi. Setiap masyarakat Papua yang tinggal di dataran rendah dan pesisir pantai menjadikannya makanan pokok.

Pohon sagu yang dapat dipanen berusia antara 5 – 10 tahun, namun ada beberapa yang dapat dipanen di usia muda. “Saya kira sudah saatnya budidaya sagu sebab jika tidak akan terjadi krisis pangan di masa depan,”kata I Made Budi peneliti buah merah belum lama ini di Jayapura.

Dia menambahkan saat ini pihaknya sudah melakukan modifikasi peralatan untuk memangkur sagu menjadi tepung sagu.”Alat pangkur sagu yang  kami buat ini sangat fleksibel karena  bisa diangkut  ke lokasi tanaman sagu,”papar Made Budi. Menurutnya alat pangkur sagu ini mampu menghasilkan tujuh sampai delapan tumang dengan 85 persen tepung sagu.” Ampas sagu yang tersisa tinggal meninggalkan patih sagu dan ini terbukti dengan tidak adanya jamur sagu yang tumbuh,”katanya. Berbeda dengan pangkur tradisional kata Made Budi ampas sagu sudah pasti akan ditumbuhi jamur karena masih terdapat tepung sagu yang tersisa sebagai media tumbuhnya jamur.

Setelah mengolah sagu dengan menggunakan alat pangkur sagu , I Made Budi juga membuat mesin press yang mampu mengeringkan sagu menjadi tepung. Menurut I Made Budi, peneliti buah merah ini tepung sagu yang diolahnya bisa digunakan untuk membikin kue dan juga adonan roti.

Sayangnya lanjut peneliti yang juga staf pengajar di Fakultas MIPA jurusan Biologi Unversitas Cenderawasih, Kota Jayapura ini budi daya sagu jarang dilakukan mestinya pemerintah merencanakan program perkebunan sagu di Papua. Memang hutan di Papua masih luas dan tanaman sagu melimpah tetapi kalau dikelola secara baik pasti hasil lebih maksimal dan bermanfaat bagi semua orang.

sumber:tribunnews

Koteka Budaya Pegunungan Papua Terancam Punah

Koteka Budaya Pegunungan Papua Terancam Punah

 
JAYAPURA,JK_ Koteka khas kaum pria di Pegunungan Papua terancam punah, seiring makin banyaknya anggota suku yang menggunakan pakaian modern. Sementara, koteka ternyata tak hanya pakaian, tapi juga fungsi lain.

"Pakaian tradisional Pegunangan Papua mulai ditinggalkan dan hanya generasi tua yang menggunakan," kata
staf peneliti Balai Arkeologi Jayapura, Hari Suroto, Minggu (10/3/2013). 

Sedangkan generasi muda suku itu, ujar dia, lebih suka menggunakan pakaian modern berbahan kain.
Pakaian tradisional Pegunungan Papua, tutur Hari, adalah paduan antara koteka dan lingkaran rotan yang dililitkan ke badan. Bahan koteka, sebut dia, adalah buah labu panjang yang dikosongkan isinya kemudian dikeringkan dengan dijemur di atas perapian. 

Setelah kering, labu tersebut dipasang di atas kemaluan lelaki Pegunungan Papua, dan diikat dengan tali rotan halus yang dililitkan di bagian pinggang hingga perut. 

Arti dan fungsi lilitan rotan

Setelah kering, lanjut Hari, dipasang di atas kemaluan (testis) pria dan diikat dengan tali rotan halus yang dililitkan di bagian pinggang hingga perut. Dia menjelaskan lingkaran rotan di perut dan badan, juga menunjukkan tingkat keberanian seorang pria dari suku itu.


"Semakin banyak lingkaran yang dimilikinya, berarti semakin tinggi pula tingkat keberanian dan status yang dimilikinya itu," kata Hari. Karena, rota hanya tumbuh di luar daerah Pegunungan Papua. Orang Pegunungan biasa menyebut rotan hanya tumbuh di daerah musuh, dan untuk memperolehnya harus menempuh risiko.

Lingkaran rotan dan koteka, juga bukan cuma pakaian dan perhiasan. Ada kegunaan lain dari pakaian tradisional ini, yaitu untuk membuat api. "Rata-rata pria Pegunugan membuat api dengan menggunakan sebuah tali rotan sebagai korek api," tutur Hari.

Untuk membuat api, seorang Pegunugan  akan mengambil sepotong rotan dari pakaian mereka, kira-kira sepanjang 60 sentimeter. Rotan itu lalu dililitkan ke sepotong kayu yang diletakkan di atas tanah, dikelilingi dengan rumput dan dahan kering. 

Lalu, lelaki itu akan berdiri, dengan masing-masing kaki menginjak ujung kayu. Dengan tangan, mereka kaan menarik tali rotan yang dililitkan tadi dengan cepat naik turun digesekkan ke kayu, sampai keluar asap, api mulai menyala, dan ujung tali putus terbakar. "Setelah itu, mereka menutupi kayu tersebut dengan rumput dan meniup sampai terjadi kobaran api yang besar," katanya.

Tak terdokumentasi

Hari mengatakan saat ini pakaian tradisional Pegunungan belum terdokumentasi dengan baik. Museum di Papua maupun di Jakarta belum memiliki koleksi pakaian ini.

Menurut Hari, perlu penelitian mendalam serta pendokumentasian lengkap dan baik, dalam beragam metoda pendokumentasian, sebelum pakaian ini benar-benar punah. Penggunaan pakaian tradisional ini dalam festival budaya maupun pada hari besar nasional, tambah dia, juga dapat menjadi cara untuk melestarikan pakaian tersebut.
 
Sumber :
ANT